Rabu, 02 September 2015

tanya jawab 2

Hukum Mas Kawin



Tanya:
Ada beberapa pertanyaan yang menyangkut Mas Kawin dalam satu dialog antara anak dan orang tua si laki-laki yaitu keinginan orang tua anaknya tidak usah memaksakan dengan mas kawin yang "wah .. " harga dan bentuknya dan mereka menyarankan yang tidak terlalu memberatkan anaknya itu, yaitu bisa dengan membacakan ayat/surat dalam Al-Qur'an (misal Al-Ikhlas 3x) dsb.
Yang jadi pertanyaan dari si anak ini adalah :

1. Apakah hukumnya dari memberikan mas kawin seperti itu?
2. Apakan mas kawin berupa seperangkat alat shalat itu baik? karena yang wajib (shalat) diwajibkan lagi (mas kawin).
3. Apa konsekwensi dari memberikan mas kawin dari surat-surat Al-Qur'an dan seperangkat alat shalat itu, kepada si pemberi mas kawin/yang di beri ?

Itulah beberapa pertanyaan yang saya tampung dari sekian permasalahan yang sering kita diskusikan sehabis shalat.

Dadan

Jawab:
Mengenai mas kawin atau mahar yang saudara tanyakan, hukumnya wajib bagi suami terhadap isteri. kewajiban mas kawin/mahar ini berdasarkan dalil al-Qur'an dan hadits diantaranya firman Allah yang berbunyi :

"Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (setubuhi) diantara mereka, berikanlah maharnya kepada mereka (dengan sempurna)" (Q.S. al-Nisa' : 24)

Begitu juga dalam ayat selanjutnya : "Kawinilah mereka dengan seijin keluarga mereka dan berikanlah mas kawin mereka sesuai dengan kadar yang pas" (Q.S. al-Nisa': 25)

Adapun mengenai batas-batasnya (maksimal atau minimal), mahar tidak mempunyai batasan. Suami boleh memberikan mas kawin kepada isterinya berapapun jumlahnya sesuai dengan kemampuan suami.

Pernah suatu kali Sahabat Umar bin Khattab ra. ketika menjabat sebagai khalifah membatasi mas kawin tidak boleh lebih dari 400 dirham, tindakan ini ditentang oleh seorang wanita yang mengatakan bahwa Allah telah berfirman :
"Dan jika kamu ingin menggantikan isterimu dengan isteri yang lain (karena perceraian), sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak (qinthaar), maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikitpun". (Q.S. al-Nisa' : 20) Kalimat "qinthaar" dalam ayat ini bermakna : jumlah yang banyak tanpa batas. Maka ketika itu Umar mengakui kekhilafannya atau kesalahannya seraya berkata: "Wanita itu benar, Umarlah yang salah".

Tetapi walaupun demikian, agama tetap menganjurkan untuk mempermudah hal-hal yang berhubungan dengan mas kawin seperti yang tertera dalam sabda Rasulullah:
"Sesungguhnya wanita yang paling banyak berkahnya adalah wanita yang paling sedikit/murah mas kawinnya."

Para ulama dahulu berbeda pendapat dalam menentukan kadar minimal mas kawin:
1. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mas kawin minimal senilai 3 dirham. Mereka mengkiaskan (menyamakan) hal ini dengan wajibnya potong tangan bagi pencuri ketika barang curiannya bernilai 3 dirham atau lebih.
2. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mas kawin paling sedikit 10 dirham atau dengan yang senilainya. Ini berlandaskan bahwa Nabi membayar mas kawin para isterinya tidak pernah kurang dari 10 dirham.
3.Ulama Syafi'iah dan Hanbaliyah berpendapat, tidak ada batas minimal, yang penting bahwa sesuatu itu bernilai atau berharga maka sah (layak) untuk dijadikan mas kawin (termasuk seperangkat alat salat). Golongan ketiga ini mendasarkan pendapatnya pada (a) ayat "Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian (wanita yang telah disebutkan dalam ayat 23-24 surat al-Nisa'), yaitu mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk dizinai" (Q.S. al-Nisa' : 24). Kalimat "amwaal" (Indonesia = harta) dalam ayat ini lafadznya umum tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu, dan tidak ada dalil lain dari hadits atau ijma' para sahabat yang mengkhususkan kalimat ini, maka keumumannya wajib diamalkan. (b) Hadits Rasulullah yang berbunyi : "iltamis walau khaataman min hadid" ("Berikanlah [mas kawin] walaupun hanya sebuah cincin yang terbuat dari besi). Selengkapnya hadits ini adalah sebuah kisah: suatu saat Nabi didatangi seorang perempuan yang menginginkan agar Nabi berkenan menikahinya. "Saya pasrahkan diri saya pada tuan", kata si perempuan. Namun lantas Nabi berfikir agak panjang.
Pada saat itulah berdiri seorang sahabat dan memberanikan diri menyatakan kepada Nabi,
"Wahai Rasulullah, jika paduka tidak berkenan menikahinya, nikahkan saja perempuan itu denganku".
"Apakah kamu memiliki sesuatu untuk dijadikan maharnya?"
"Saya tidak mempunya apa-apa kecuali kain sarung saya ini".
"Sarungmu?!. Lantas kamu nanti mau pakai apa jika sarung itu kamu jadikan mahar? Carilah sesuatu".
"Sama sekali saya tak punya apa-apa".
"Carilah, walau hanya cincin besi".
Lelaki tadi lantas mencari-cari, namun memang dia tak punya apa-apa. Lalu kata Nabi:
"Apakah kamu hafal beberapa (surat) dari al-Qur'an?".
"Oh ya, surat ini dan surat ini", dia mengatakan surat-surat yang dihafalnya. Maka lantas Nabi menikahkan mereka, "Saya nikahkan kamu dengan perempuan itu dengan mahar apa yang kamu hafal dari al-Qur'an".

Jelaslah dengan demikian, bahwa mahar itu tidak ada batasannya. Apapun bentuknya, berapapun jumlahnya, sampai barang yang paling sederhana sekali, bahkan berupa bacaan al-Qur'an, yang penting bernilai dan berharga, maka sah (layak) dijadikan mahar. Dan pendapat yang terakhir inilah yang paling rajih (pendapat yang paling kuat argumen serta dalilnya).
 


Hukum Islam Untuk Zina



Tanya:
Saya tertarik dengan kasus zina yang dilakukan oleh salah seorang TKW (Tenaga Kerja Wanita) Indonesia di Uni Emirat, Kartini. Banyak tokoh yang menyatakan pendapatnya mengenai kasus tersebut. Diantaranya adalah Ibu Menteri Khofifah yang lewat media massa meminta pemerintah Uni Emirat Arab tersebut untuk meninjau ulang kasus tersebut, dan sekaligus (kalau bisa) tidak melaksanakan hukuman rajam kepada Kartini. Sedangkan Bapak Alwi Shihab (Menlu RI) juga berupaya untuk meminta pengampunan.

Yang ingin saya tanyakan sebenarnya apakah hukuman untuk seseorang yang berbuat zina dalam Islam. Karena setau saya, memang hukuman rajam sampai mati adalah hukuman dalam Islam. Namun saya agak bingung karena dua tokoh yang saya sebutkan diatas adalah tokoh-tokoh Islam dari partai yang menjunjung Islam, berupaya meminta pengampunan untuk tidak dihukum rajam.

Yang mana yang benar?
Jika memang Kartini berzina, haruskah dihukum rajam?
Dan apakah kalo ia telah melaksanakan hukuman rajam tersebut, keseluruhan dosa-dosanya (termasuk dosa selain zina) mendapat pengampunan dari Allah SWT? (karena menurut saya hukuman tersebut sudah sangat berat). Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan banyak terima kasih.

Vivin,
Kebun Jeruk, Jakarta Barat.

Jawab:
Saya tidak tahu alasan kedua pejabat kita itu dalam permintaannya kepada pemerintah Uni Emirat Arab untuk mencabut hukuman rajam bagi Kartini yang katanya telah terbukti melakukan perzinaan di negara itu.

Akan tetapi secara fiqhi (hukum Islam) permintaan itu saya kira dapat diterima dan hukuman rajam bagi Kartini dapat dibatalkan. Sebab hukuman-hukuman jenis hadd (hukuman yang telah ditetapkan ukurannya oleh agama, seperti potong tangan bagi pencuri dan cambuk atau rajam bagi pezina) harus selalu dibarengi dengan adanya pengamanan yang cukup terhadap perbuatan-perbuatan yang akan dikenai hukuman-hukuman tersebut, dalam arti masyarakat telah memberikan kepada pelaku perbuatan-perbuatan tersebut kesempatan untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara-cara yang halal serta menutup peluang-peluang terjadinya cara-cara yang tidak halal itu.

Sebagai contoh, hukuman potong tangan tidak dapat diterapkan kepada pencuri yang kesulitan mencari makan, juga seseorang mencuri uang yang tergeletak di atas meja, misalnya, tidak disimpan di tempat yang semestinya. Yang pertama karena tertutupnya pintu halal dan yang kedua karena terbukanya pintu haram.

Oleh karena itu, Khalifah Umar ra. tidak memberlakukan hukuman potong tangan ketika Madinah dilanda krisis makanan, beliau juga tidak membolehkan tentaranya pergi berjihad meninggalkan istrinya lebih dari empat bulan, sebab atas petunjuk putrinya Hafsah ra., seorang istri hanya mampu menahan kerinduan kepada suaminya dalam waktu paling lama empat bulan, jadi lebih dari itu akan menimbulkan kemungkinan-kemungkinan yang tidak baik.

Karena itu pula hukuman zina (cambuk dan rajam) saya kira tidak dapat diterapkan kepada pemuda yang kesulitan menikah, sementara pintu perzinaan terbuka lebar di hadapnnya. Hal ini tidak berarti lantas perzinaan itu diperbolehkan baginya, bagaimanapun zina atau mencuri tetap saja sebagai dosa besar, hanya saja tidak adanya pengamanan terhadap dosa besar ini tergolong sebagai syubhat (remang-remang), yaitu sesuatu yang membuat unsur-unsur suatu kejahatan kurang begitu jelas, dan dalam hukum Islam telah ditetapkan bahwa hukuman-hukuman hadd tidak dapat diterapkan kalau ada syubhat.

Nah. Dalam kasus Kartini, saya kira pengamanan terhadap zina itu belum ada, ia adalah TKW yang tinggal di negeri orang tanpa disertai pendamping (suami, mahrom teman-teman sesama perempuan) seperti yang diperintahkan oleh agama, perempuan pergi haji saja diwajibkan adanya pendamping, dan pendamping fungsinya jelas sebagai pelindung dan pengaman termasuk melindungi dari kemungkinan terjadinya perzinaan.

Oleh karena itu, kasus Kartini hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus serupa yang dialami oleh para TKW kita. Bedanya, kasus Kartini sampai ke pengadilan, sebab kesempatan untuk berzina baik dengan cara paksa atau suka sama suka sangat terbuka bagi mereka.

Dengan demikian bila negara-negara Arab mau menerapkan hukum cambuk atau rajam bagi para TKW kita maka sebelumnya harus mengikuti hukum Islam terlebih dahulu, yaitu mensyaratkan adanya pendamping bagi mereka, disamping tentunya mereka harus diberi tahu sebelumnya soal hukum dan undang-undang yang berlaku di negara majikannya itu.

Wallahu a'lam


Haul ke-7, 40, 100, dll


Tanya:
Assalamualaikum Wr. Wb.
Sebelumnya saya biasa ikut memenuhi undangan tahlilan untuk peringatan meninggalnya seseorang. Seminggu yang lalu saya memperoleh undangan dari seorang guru agama untuk menghadiri haul almarhumah orang tuanya, tetapi sebelum memenuhi undangan tersebut saya memperoleh keterangan dari beberapa guru agama yang lain bahwa hal tersebut dilarang karena termasuk bid"ah.

Pertanyaan:
Karena khawatir dan takut menyimpang dari ketentuan Allah swt., saya mohon kiranya dapat diberikan jawaban mengenai hal tersebut diatas secara lengkap berikut dalil2 dan rujukan2 yang mendasarinya baik dari Al Qur'an, Sunnah Rasul, pendapat 4 mazhab dan juga para ahli agama termasuk juga pengasuh PV.

Wassalam,
Daya Setiawan


Jawab:
Kebiasaan mengadakan haul --yang intinya hendak mengirim hadiah bacaan-bacaan al-Qur'an, tahlil, dan doa-doa kepada si mayit-- dengan disesuaikan pada hitungan hari-hari tertentu mengandung dua substansi permasalahan. Pertama, sampai tidaknya ganjaran yang dihadiahkan kepada almarhum. Dan kedua, menepatkan acara pada hitungan hari-hari tertentu, misal ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000, dan mengulang tiap tahunnya, apakah seperti ini bid'ah?

Yang pertama, sampai tidaknya ganjaran yang dikirim kepada si mayit, sebagian besar ulama keempat mazhab (Malikiyah, Hanafiyah, Syafi'iyah, dan Hanbaliyah) berpendapat sampainya ganjaran bacaan-bacaan baik al-Qur'an, tahlil, dan doa-doa lainnya. Bahkan amal apa saja yang baik dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt, seperti bersedekah, infaq, dll, bila diniati ganjarannya untuk orang yang telah meninggal, ganjaran itu akan sampai dan bermanfaat buat si mayit.

Pendapat-pendapat itu didasarkan pada ayat-ayat dan hadis:
1. Ayat ke 10 surat al-Hasyr.
2. Ayat ke 19 surat Muhammad.
3. Hadis "idzaa maata al-insaan inqatha'a 'amaluhu illa min tsalaatsin, shadaqatin jaariyatin au 'ilmin untafa'u bihii au waladin shaalihin yad'uu lahu" (Kematian seseorang menyebabkan terputusnya segala amal perbuatannya [tidak ada pengaruhnya pada dia] kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang saleh yang mendoakannya) [HR. Muslim].
4. Hadis "man zaara qabra waalidaihi faqara'a 'indahu --au 'indahumaa-- yaasiin ghufira lahu" (Barang siapa menziarahi qubur kedua orang tuanya, lantas membacakan untuk keduanya surat Yasin, maka terampuni kedua orang tuanya" [HR. Ibnu 'Addiy].
5. Hadis kisah seseorang yang tanya kepada Nabi : "kaana lii abawaani ubirruhumaa haala hayaatihimaa, fakaifa lii ubirruhumaa ba'da mautihimaa?" (Saat kedua orang tuaku masih hidup saya selalu memuliakannya, lantas bagaimana saya bisa berbuat baik/memulyakannya setelah wafatnya?). Dijawab oleh Nabi: "inna al-birr ba'da al-maut an tushalliya lahumaa ma'a shalaatika wa tashuuma lahumaa ma'a shiyaamika." ([Kamu bisa] memulyakannya dengan menghadiahkan pahala salat-salatmu dan pahala puasa-puasamu) [HR. al-Daaruquthniy].
6. Hadis "iqra'uu 'alaa mautaakum yaasiin" (Bacakanlah untuk ahli qubur kalian surat Yasin" [HR. Abu Dawud].

Mengenai persoalan yang kedua, soal waktu, yakni kenapa ditepatkan pada hari ke-7, ke-40, dst, itu begini:
Mula-mula harus kita bahas dulu "apa itu bid'ah" secara istilah (terminologi). Definisi bid'ah yang paling terkenal di kalangan ulama adalah yang diberikan oleh Imam al-Syatibiy, yaitu "suatu tata cara di dalam agama yang diciptakan untuk menandingi (tata cara beribadah yang sesuai) syari'ah.

Untuk menguji apakah tahlilan pada hari-hari ke-7, ke-40, dst itu termasuk bid'ah atau tidak bisa melalui daftar pertanyaan-pertanyaan berikut: "apakah perbuatan menyesuaikan acara pengiriman bacaan Qur'an, tahlil, doa, dan lain-lain dengan hitungan hari tertentu itu termasuk rangkaian ibadah?" Ataukah itu hanya sekedar kebiasaan saja, jadi tidak termasuk rangkaian ritual 'tahlilan' itu sendiri? Atau lebih tepatnya: saat melaksanakan acara tahlilan itu adakah keyakinan "bahwa acara itu harus dilakukan pada hari-hari ke-7, ke-40, ke-100, dst, sehingga seandainya dilakukan di luar hari-hari itu menjadi tidak sah?

Menurut saya, penentuan pelaksanaan tahlilan pada hitungan hari-hari tertentu itu tidak termasuk bagian tak terpisahkan dari ritual tahlilan itu sendiri. Itu hanya berdasar kebiasaan saja, tidak bagian inhern dari ibadah pengiriman ganjaran bacaan dan doa, sehingga seandainya dilaksanakan di luar hari-hari itu tetap saja sah.

Orang-orang yang tahu, tetap berpendirian bahwa tindakan menyesuaikan acara tahlilan pada hari-hari tertentu itu tidak merupakan bagian atau suatu bentuk ibadah. Karena ibadahnya hanyalah tahlilannya itu sendiri. Jika demikian, maka tindakan menyesuaikan itu tentu tidak bisa dianggap sebagai bid'ah.

Wallahua'lam.



Haruskah Ijin Menikah Dengan Orang Tua?



Tanya:
Saya Yusuf, ingin menanyakan beberapa hal mengenai pra-pernikahan :
  1. Apakah hukumnya dalam syari'at, meminta ijin kepada kedua orang tua bagi seorang laki-laki atau wanita yang ingin menikah?
  2. Apabila kedua orang tua tidak menyetujui calon pendamping baik bagi laki-laki maupun wanita lalu ia tetap akan melangsungkan pernikahannya, apakah hal tersebut termasuk durhaka terhadap orang tua? Atau bagi seorang laki-laki menikah tanpa memberitahukan sebelumya kepada kedua orang karena orang tua tidak setuju apakah juga termasuk durhaka? Dengan catatan ketidaksetujuan orang tua bukan karena syar'iah namun karena kakak-kakaknya (laki-laki & wanita) belum menikah, dan kakak yang wanitanya juga tidak mau dilangkahi, juga orang tua maunya ia harus melanjutkan kuliahnya dahulu sehingga harus menunggu lebih kurang 3 tahun lagi, sedangkan ia sudah berkeinginan sekali menikah untuk menjaga keselamatan dirinya disamping usianya sudah 26 tahun ia juga sudah memiliki pekerjaan tetap.
Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.

Yusuf Syam
yusufsyam@t...

Jawab:
  1. Izin menikah kepada orang tua tentu saja dibolehkan bagi wanita dan laki-laki, bahkan bagi seorang wanita memang diharuskan karena ia tidak menikah kecuali dinikahkan oleh walinya, lain halnya dengan laki-laki mungkin izin ini hanya sekedar merupakan sopan santun (laki-laki yang sudah baligh dapat melakukan akad nikahnya sendiri tanpa persetujuan siapapun) karena walau bagaimanapun perkawinannya kelak tidak hanya mengikat antara ia dengan calon istrinya tapi juga mengikat dua keluarga mereka, jadi sebaiknya laki-laki memberitahukan juga keinginannya untuk mengawini seseorang.
  2. Adapun jika keduanya telah meminta izin kemudian orang tua tidak menyetujuinya dengan alasan-alasan non syar'i, orang tua wanita dapat dikategorikan sebagai wali yang 'adl (menolak menikahkan). Dalam kondisi seperti ini ada dua pendapat: Pertama (mayoritas ulama) perwalian langsung pindah ke tangan hakim (penghulu). Kedua (sebagian ulama), perwalian berpindah kepada wali yang lain yaitu kakek, kemudian kakak atau adik laki-laki, kemudian anak-anak laki-laki mereka, kemudian paman, kemudian anak-anak laki-lakinya, demikian secara berurut dan dengan tetap menjaga syarat-syarat menjadi wali yaitu: muslim, aqil dan baligh. Jika semua menolak menikahkan, baru kekuasaan perwalian pindah ke hakim (penghulu). Seperti ini berdasarkan hadis Rasulullah yang artinya:"...apabila walinya enggan atau menolak menikahkannya, maka sultan (hakim) lah yang menjadi wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali".
Kesimpulannya jika wanita dan laki-laki tetap melangsungkan pernikahan tanpa persetujuan orang tua tidak bisa dikatakan keduanya sudah durhaka malah orang tuanya lah yang sudah tidak mentaati apa yang diperintahkan Allah agar tidak menghalangi-halangi anak-anaknya untuk menikah. Allah berfirman dalam Al Quran yang artinya: "...maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin dengan bakal suaminya apabila telah terdapat kerelaan di antara keduanya dengan cara yang ma'ruf" QS. Al Baqarah: 232.

Hanya saja sebaiknya berusahalah semaksimal mungkin untuk meyakinkan orang tua wanita agar ia mau menikahkan anaknya, toh alasan-alasan yang digunakan sangat lemah sekali, seperti alasan kakak-kakaknya yang belum menikah, hal ini tidak dapat dijadikan alasan karena jodoh merupakan nasib seseorang yang datangnya tidak dapat diatur, masalah sekolah pun bisa diatasi, tidak sedikit perempuan yang tetap berhasil dalam jenjang studinya walaupun ia telah menikah dan memiliki anak. jelaskan kepada orang tua wanita bahwa tiga tahun bukanlah waktu yang sedikit untuk menahan diri dari godaan syeitan apalagi yang laki-laki sudah memiliki pekerjaan tetap, dan Rasulullah bersabda, yang artinya:"jika datang kepadamu (para wali) laki-laki yang baik agama dan budi pekertinya, maka nikahkanlah ia karena jika tidak maka akan timbul fitnah dan kerusakan di muka bumi". Akhirnya saya doa'kan semoga orang tua wanita di beri hidayah oleh Allah untuk menyetujui perkawinan anaknya.

Wallahu A’lam



Hadis Tentang Kaum Muslimin di Akhir Zaman



Tanya:
Ustadz, saya mau minta tolong nih. Saya sedang menulis tentang kondisi generasi Islam saat ini dan saya memerlukan hadist nabi yang intinya mengatakan bahwa pada akhir zaman nanti keadaan kaum muslimin di dunia ini bagaikan buih di lautan. Saya sudah berusaha mencarinya dan bertanya pada teman-teman barangkali ada yang hapal tapi mereka semuanya mengatakan tidak hapal dan tidak tahu di kumpulan hadist yang mana hadist itu berada.

Ustadz, tolong dong saya diberitahu hadist tersebut (tulisan Arab dan terjemahannya).

Jazakallah.
Siti Hamidah

Jawab:
Sebelumnya saya mendoakan semoga tulisan yang sedang Anda tulis itu bermanfaat bagi Anda maupun bagi kaum Muslimin umumnya.

Hadits yang Anda tanyakan itu adalah hadits Tsauban r.a. Maula (mantan hamba sahaya) Rasulullah Saw, dari Rasulullah Saw. Hadits itu berbunyi sebagai berikut:



Yang artinya: "Dari Tsauban ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: "Suatu masa nanti, bangsa-bangsa akan memperebutkan kalian seperti orang-orang yang sedang makan yang memperebutkan makanan di atas nampan". Kemudian ada sahabat yang bertanya: "Apakah saat itu kita (kaum Muslimin) berjumlah sedikit [sehingga bisa mengalami kondisi seperti itu]?". Rasulullah Saw menjawab: "Sebaliknya, jumlah kalian saat itu banyak, namun kalian hanyalah bak buih di atas air bah [yang dengan mudah dihanyutkan ke sana ke mari]. Dan Allah SWT akan mencabut rasa takut dari dalam diri musuh-musuh kalian terhadap kalian, sementara Dia meletakkan penyakit wahn dalam hati kalian." Ada sahabat yang bertanya lagi: "Wahai Rasulullah Saw, apakah wahn itu?" beliau menjawab: "Cinta dunia dan takut mati."

Hadits ini ditakhrij oleh:
  1. Sulaiman bin Asy'ats Abu Daud as Sajastani al Azdi, dalam kitabnya: Sunan Abi Daud, juz 4, hal. 111, hadits no. 4297, Darul Fikr, tt.
  2. Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufi, dalam kitab Mushannaf ibnu Abi Syaibah, juz 7, hal. 463, hadits no. 37247, Maktabah ar Rusyd, Riyadh, 1409 H, cet. I.
  3. Ahmad bin Hambal, dalam kitabnya Musnad Ahmad, juz 5, hal. 278, no. 22450, Muassasah Qurthubah, Mesir.
  4. Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abu Qasim ath Thabrani, dalam kitabnya Musnad asy Syaamiyyiin, juz 1, hal. 344, no. 600, Muassasah Risalah, Beirut, cet. I, 1405 - 1984.
  5. Sulaiman bin Daud, Abu Daud al Farisi al Bashri ath Thayalisi, dalam kitabnya Musnad ath Thayalisy, juz 1, hal. 133, no. 992, Darul Makrifah, Beirut.
  6. Abu Bakar Ahmad bin Husain al Baihaqi, dalam kitabnya Syu'abul Iimaan, juz 7, hal. 197, hal. 10372, Darul Kutub al Ilmiyyah, Beirut, 1410 H, cet. I.
  7. Muhammad bin Ali bin Hasan Abu Abdillah al Hakim at Tirmidzi, dalam kitabnya Nawadir Ushul fi Ahadiits ar Rasuul, juz 4, hal. 156, Darul Jail, 1992.
  8. Abu Syuja' Ad Dailami al Hamdzani, dalam kitabnya Al Firdaus bi Ma'tsuur al Khath-thab, juz 5, hal. 527, no. 89770, Darul Kutub Ilmiyyah, Beirut, 1986.

Semua jalan periwayatan hadits tesebut berasal dari periwayatan Tsauban maula Rasulullah Saw.

Demikianlah, semoga jawaban ini bermanfaat bagi Anda.

Wallahu A’lam



Fidyah dan Qadla' Ramadlan



Tanya:
Saya ingin bertanya tentang rukunnya fidyah selengkapnya (bolehkah dibayarkan dengan uang dan sekaligus semuanya ke 1 orang ?). Sekarang isteri saya hamil (dari hasil USG mengandung 2 janin) masih punya utang puasa Ramadhan (tahun lalu) dan persalinannya insya Allah bulan Januari 2001. Selain fidyah sebenarnya saya ingin tahu juga tutunannya selama hamil hingga kelahirannya, apa yang perlu saya lakukan dan persiapkan (yang wajib maupun yang sunnah).

M. Yusuf Wibisono

Jawab:
Pak Wibisono, mengenai cara pembayaran fidyah: fidyah boleh saja dibayar berupa uang (yang senilai dengan satu mud, atau sekitar 3/4 (tiga per empat) kg beras atau makanan pokok setempat). Dan boleh saja dibayarkan sekaligus kepada satu orang (miskin).

Adapun tuntunan yang perlu diikuti selama sang istri hamil, selain rajin-rajin mendoakan agar dikaruniai anak yang baik, saleh-salehah (sebagaimana doanya Nabi Zakaria [Ali Imran 38] "Tuhanku, karuniakanlah kepadaku keturunan yang baik. Sungguh Engkau Maha Mendengar permohonan."), ya tentu soal kesehatan si ibu, dengan mengikuti petunjuk-petunjuk dokter.

Dan saat jabang bayi lahir, disunatkan mengumandangkan azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri.

***
Selanjutnya, yang juga penting diketahui sekitar persoalan fidyah dan mengqadla' puasa adalah hal-hal berikut:
  1. Dalam keadaan berpuasa seorang istri yang sedang hamil, apabila khawatir terhadap kesehatan diriya dan anak yang dikandungnya, maka diperbolehkan tidak berpuasa. Firman Allah : "Dan bagi orang yang mampu menjalankan puasa (tapi tidak menjalankannya karena merasa terlalu berat) maka wajib membayar fidyah yaitu memberi makan orang miskin." (Al-Baqarah: 184) Dan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda "Allah SWT melepaskan kewajiban shalat (pada waktunya) bagi musafir, dan melepaskan tanggungan puasa atas musafir, perempuan yang hamil, dan yang menyusui." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, dan Baihaqi).
  2. Para ulama berbeda pendapat dalam apakah perempuan yang hamil dan yang menyusui diwajibkan mengqadla' dan membayar fidyah, atau cukupkah dengan mengqadla' saja (tanpa membayar fidyah), atau sebaliknya hanya membayar fidyah saja? (Silahkan Anda memilih sendiri mana yang paling cocok dengan keadaan Anda). Pendapat pertama (Ibnu Abbas dan Ibnu 'Umar): Jika keduanya (perempuan yang hamil dan yang menyusui) mengkhawatirkan kesehatan janin dan anaknya, maka hanya diwajibkan membayar fidyah (tanpa mengqadla'). Kedua (Hanafi): Sebaliknya, keduanya hanya diwajibkan mengqadla' puasa yang diitinggalkan (tanpa membayar fidyah). Ketiga (Maliki): Orang yang hamil hanya wajib mengqadla' saja (tanpa membayar fidyah), namun orang yang menyusui diwajibkan membayar fidyah dan mengqadla. Keempat (Syafi'i dan Ahmad): keduanya hanya diwajibkan mengqadla' saja jika mengkhawatirkan kesehatan diri dan anaknya. Namun jika hanya mengkhawatirkan kesehatan anaknya saja, maka wajib mengqadla' dan membayar fidyah.
  3. Mengenai mengakhirkan qadla' puasa Ramadlan hukumnya boleh-boleh saja selama tidak sampai menjelang Ramadlan berikutnya. Namun begitu, jika tidak ada halangan (seperti bepergian, bekerja keras, sakit, dan udzur-udzur lainnya), hendaknya secepatnya mengqadla'.

    Adapun seperti yang dikisahkan Sayidah Aisyah bahwa kebiasaan istri-istri Rasulullah tidak segera mengqadla Ramadlan sampai datang bulan Sya'ban (HR. Muslim) itu tidak sepenuhnya bisa dijadikan landasan dalam persoalan penundaan qadla' puasa ini. Karena kebiasaan mereka (istri-istri Rasul) seperti itu hanya berdasar kekhawatiran jika sewaktu-waktu Rasulullah membutuhkan (hajat biologis) mereka. Karena mereka tidak tahu pasti kapan Rasul akan membutuhkan mereka. Mereka beri'tikad baik senantiasa menyiapkan diri kapan saja bila Rasul membutuhkan. Dan itu mesti tidak dengan melakukan puasa. Sehingga mereka baru melakukan qadla' puasa pada bulan Sya'ban, saat mana Rasul biasa berpuasa pada sebagian besar bulan Sya'ban tersebut.

    Dengan demikian, seorang istri yang sudah ditinggal mati suaminya tidak perlu ikut-ikutan mengqadla' puasa sampai datangnya Sya'ban.
  4. Jika belum mengqadla' sampai memasuki/menjelang Ramadlan berikutnya, hendaknya segera mengqadla' pada hari-hari yang tersisa (dari bulan Sya'ban) dan melanjutkan sisanya seusai Ramadlan. Apabila penundaan qadla' dikarenakan adanya halangan seperti sakit atau perjalanan yang berkepanjangan sampai datang bulan puasa berikutnya, para ulama sepakat bahwa qadla' bisa dilakukan seusai bulan puasa berikutnya dan tidak diwajibkan membayar fidyah. Namun bila penundaan itu dilakukannya secara sengaja (tanpa ada halangan) maka diwajibkan membayar fidyah dan mengqadla'.

Wallahu A’lam


Daging tak berlabel "halal", haramkah?



Kasus:
Saya tinggal bersama teman2 di apartemen kampus di US, dan menanggung biaya secara kolektif, termasuk biaya makan. Kebetulan karena saya punya sedikit hobi masak, maka saya mendapat tugas sebagai tukang masak. Di dekat kampus, ada super market besar "A" yang menjual segala macam kebutuhan. Saya biasa membeli daging sapi dan ayam di supermarket ini, tentu saja tidak ada label halal. Sementara, ada lagi mini market "B" yang letaknya lumayan jauh, yang menjual daging ayam dengan label halal.

Masalah timbul ketika salah seorang teman tidak mau makan ayam yang saya beli dari "A", dengan alasan tidak ada label halal. Saya merasa tidak enak, namun untuk membeli daging ayam di "B", saya merasa enggan karena jauh, apalagi saat ini musim dingin.

Pertanyaan:
  1. Apakah benar seandainya saya mengatakan kepada teman itu, bahwa daging ayam atau sapi yang tidak disembelih dengan mengucapkan basmalah menjadi halal seandainya pada saat hendak memakannya kita mengucapkan basmalah?
  2. Berdosakah saya seandainya jawaban pertanyaan nomor 1 itu adalah tetap haram?

Sekian terima kasih atas bantuannya.

Wassalam,

Farid Bachtiar

Jawab:

Untuk menetukan daging yang tidak diketahui asal-usulnya atau bukan disembelih oleh orang Islam, bisa (halal) dimakan menurut tuntunan hukum syara' tidak cukup dengan hanya membaca basmalah sebelum mamakannya, akan tetapi ada beberapa tuntunan (pendapat ulama) dalam hal ini. Pertama, hendaknya daging tersebut halal dimakan seperti daging sapi, kambing, ayam, dll dan tidak termasuk yang diharamkan menurut hukum syara' seperti daging babi, anjing dll.
Apabila daging tersebut merupakan hasil impor, maka boleh-boleh saja memakannya. Namun terlebih dahulu harus ditentukan dari mana daging itu diimpor meskipun bukti-buktinya tidak cukup akurat. Adapun standar yang dijadikan pijakan di sini adalah yang mendekati akurat.

Dalam keadaan diketahui bahwa daging tersebut berasal dari negara yang mayoritas beragama Kristen atau Yahudi (ahlul kitab) maka boleh-boleh saja memakannya, karena yang dijadikan dasar disini adalah kebenaran iman mereka pada kitab Taurat dan Injil (menurut Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan jumhur ulama kecuali Imam Malik yang hanya memakruhkannya), berdasarkan firman Allah Swt "Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka". (QS. Al-Maaidah:5)

Dan Apabila diketahui bahwa daging tersebut berasal dari negara yang beragama animisme seperti Jepang dan komunis seperti Cina dan Rusia, atau negara yang tidak beragama samawi seperti India, maka tidak halal memakannya. Untuk lebih detailnya silakan Anda buka "Al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu" karya Dr. Wahbah Al-Zuhaily pada bahasan "Sembelihan".

Demikian tuntunan yang diberikan oleh Ulama, selanjutnya Anda bisa menentukan sendiri berdasarkan tuntunan di atas, namun sebaiknya tetap mendahulukan daging yang jelas-jelas halal seperti yang ada di supermarket 'B' itu, kalau tidak merasa kesulitan memperolehnya. Wallahu a'lam.

Adapun persoalan dosa atau tidak, selama hal itu Anda lakukan berdasar ketidaktahuan Anda, ya tak apa-apa.

Wallahu A’lam
 






 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar