Senin, 14 September 2015

tanya jawab 6

AIR DUA KULAH

Air Dua Kulah Diindonesia & Air Musta’mal
1. Air Dua Kulah
Dalam banyak kitab fiqih disebutkan bahwa ukuran volume 2 qulah itu adalah 500 rithl Baghdad. Atau sama dengan 446 3/7 Rithl Mesir atau sama dengan 81 rithl Syam. Dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter. Demikian disebutkan dalam kitab fiqih sebagaimana dikutip oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu.
Dalam mazhab Asy-Syafi`iyyah, bila air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari 270 liter dan kemasukan air yang sudah digunakan untuk berwudhu`, maka air itu dianggap sudah musta`mal. Air itu suci tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci (berwudhu` atau mandi). Tapi bila bukan digunakan untuk wudhu` seperti cuci tangan biasa, maka tidak dikategorikan air musta`mal. Karena istilah musta`mal yang maknanya sudah digunakan berkaitan dengan digunakan untuk wudhu` atau mandi saja, bukan digunakan untuk hal lainnya.
2. Air Musta'mal
Air musta`mal berarti air yang sudah dipakai, maksudnya yang telah digunakan untuk bersuci baik dalam berwudhu`, mandi atau mencuci najis dalam kebanyakan pendapat ulama.
Sedangkan istilah qullah adalah ukuran volume air. Dalam banyak kitab fiqih disebutkan bahwa ukuran volume 2 qulah itu adalah 500 rithl Baghdad. Atau sama dengan 446 3/7 Rithl Mesir atau sama dengan 81 rithl Syam. Dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter. Demikian disebutkan dalam kitab fiqih sebagaimana dikutip oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu.
Dalam mazhab Asy-Syafi`iyyah, bila air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari 270 liter dan kemasukan air yang sudah digunakan untuk berwudhu`, maka air itu dianggap sudah musta`mal. Air itu suci tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci (berwudhu` atau mandi). Tapi bila bukan digunakan untuk wudhu` seperti cuci tangan biasa, maka tidak dikategorikan air musta`mal.
Karena istilah musta`mal yang maknanya sudah digunakan berkaitan dengan digunakan untuk wudhu` atau mandi saja, bukan digunakan untuk hal lainnya.
Pengertian Musta`mal di antara fuqoha mazhab :                                                 a. Ulama Al-Hanafiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu` untuk shalat atau mandi wajib) atau untuk qurbah (wudhu` sunnah dan mandi sunnah).
Yang menjadi musta`mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta`mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu` atau mandi.
Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta`mal.
Bagi mereka, air musta`mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu` atau mandi.
(lihat kitab Al-Badai` jilid 1 hal. 69 dan seterusnya, juga Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 hal. 182-186, juga Fathul Qadir 58/1,61).
b. Ulama Al-Malikiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu` atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis).
Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan bahwa yang musta`mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang.
namun yang membedakan adalah bahwa air musta`mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan syah digunakan untuk mencuci najis atau wadah. Air ini boleh digunakan lagi untuk berwudhu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah.
(Lihat As-Syahru As-Shaghir 37/1-40, As-Syarhul Kabir ma`a Ad-Dasuqi 41/1-43, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah hal. 31, Bidayatul Mujtahid 1 hal 26 dan sesudahnya).
c. Ulama Asy-Syafi`iyyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta`mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu` atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu`
Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu`, maka belum lagi dianggap musta`mal. Termasuk dalam air musta`mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta`mal kalau sudah lepas / menetes dari tubuh.
Air musta`mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu` atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karean statusnya suci tapi tidak mensucikan. (Lihat Mughni Al-Muhtaj 1/20 dan Al-Muhazzab jilid 5 hal. 1,8)
d. Ulama Al-Hanabilah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudhu`) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.
Selain itu air bekas memandikan mayit pun termasuk air musta`mal.
Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesautu yang diluar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan air musta`mal. Seperti membasuh muka yang bukan dalam rangkaian wudhu`. Atau mencuci tangan yang bukan dalam kaitan wudhu`.
Dan selama air itu sedang digunakan untuk berwudhu` atau mandi, maka belum dikatakan musta`mal. Hukum musta`mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk wudhu` atau mandi, lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu` / mandi lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta`mal.
Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta`mal yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 qullah, maka tidak mengakibatkan air itu menjadi 'tertular' kemusta`malannya.
Bahkan Sayyid Sabiq dalam kitab Fikih Sunahnya dengan tegas mengatakan bahwa air musta'mal adalah suci dan bisa untuk bersuci karena melihat pada asalnya yang memang bisa mensucikan. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Rasulullah saw. pernah mengusap kepala beliau dengan sisa air yang terdapat di tangan (HR Ahmad dan Abu Daud).

Poligami Nikah Sirri

Saya "dilamar" seorang janda beranak dua. Dia dulu murid saya. Saya merencanakan menikah sirri untuk menghindari "takrobuzzina”. Pernikahan sirri hanya akan dihadiri penghulu, beberapa orang saksi, dan seorang wali hakim. Selanjutnya pernikahan akan kami rahasiakan dulu. pertanyaan saya:
1)    Sahkah secara agama pernikahan saya nanti?
2)    Kalau tidak sah sebaiknya apa yang harus saya lakukan?
3)    Apa hukumnya saya menikahinya tetapi tidak memberi nafkah lahir mengingat dia hanya butuh teman untuk membesarkan anak-anaknya. Meskipun demikian saya berjanji dalam hati untuk tetap berusaha memberi nafkah lahir.                                                                                          4)    Apa hukumnya kalau saya tidak beniat punya anak dari dia? (Anak kandung saya satu dia punya dua anak, saya anggap cukup)
Terima kasih atas jawaban Ustadz
Wassalamu'alaikum wr.wb.
Hormat saya : Alseti, Solo Jawa Tengah
Jawaban Pengasuh
Nikah harus dilakukan dengan wali, karena tidak ada nikah tanpa wali. Wali itu adalah bapak kandung dari pihak calon isteri, kalau tidak ada atau tidak mau bisa saja kakak atau adiknya yang laki-laki tapi sudah dewasa, kakek atau paman dari pihak bapaknya. Bila semua tidak ada maka wali hakim pilihan terakhir dan yang bertindak sebagai wali hakim bisa penghulu dari KUA. Kalau yang anda maksud nikah sirri tidak tercatat di KUA dan ketentuan nikah dipenuhi khususnya wali seperti yang kami maksud di atas, maka nikahnya sah, penghulu KUA lebih pada masalah administrative yang sebenarnya juga amat diperlukan.  Tapi bila orang tuanya tidak tahu dan anda menggunakan wali hakim maka itu tidak sah. Maka yang harus anda lakukan adalah menikahlah melalui walinya, jadi harus sepengetahuan keluarganya.
Keluarga anda juga harus tahu bahwa anda menikah lagi, menikah itu jangan dirahasiakan, apalagi menikah lagi. Karena paling tidak ada dua konsekuensi hukum, yakni nasab atau garis keturunan dalam artinya isteri baru anda menjadi ibu tiri dari anak anda dan ia kelak tidak boleh menikah dengan bekas isteri bapaknya, begitu juga anak yang dihasilkan dari perkawinan ini meskipun anda tidak ingin punya anak. Yang kedua adalah waris, ketika anda mati maka isteri kedua adalah ahli waris yang bisa jadi tidak dianggap oleh isteri anda yang pertama karena dia tidak tahu.
Selanjutnya nikah itu bukanlah untuk main-main, bukan pula sekadar untuk mendapatkan status apalagi sekadar dapat teman hidup, tapi sesudah orang menikah berubah statusnya menjadi suami dan isteri dengan segala konsekuensi atau hak dan kewajiban yang wajib dipenuhi, begitu pula ketika menjadi orang tua. Diantara kewajiban itu adalah nafkah lahir dan batin.
Kalau tidak mau punya anak boleh-boleh saja, tapi tujuan nikah itu kan salah satunya adalah keturunan.
Demikian jawaban singkat pengasuh, semoga bermanfaat.
Diposkan oleh di 01.42

Hukum Semir Rambut

Saya sering mendengar kabar bahwa banyak orang yang suka menyemir atau mencat rambutnya untuk menghitamkan. Masalah ini memang jarang sekali dibahas, tapi sebagai umat kita tentu perlu mengetahui hukumnya, khususnya dalam kaitan ibadah shalat. Yang ingin saya tanyakan:
1.    Apakah hukumnya menggunakan semir atau cat rambut itu?
2.    Bila hal itu terkait dengan ibadah shalat, apakah orang yang memakai semir rambut itu akan batal shalatnya?
Demikian hal ini saya tanyakan, atas jawaban pengasuh sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih.     Wassalam
     Ali Arjah AK      Jl. Putung Kempat No. 48     Kec. Sepayk Kalbar, 78662
Jawaban Pengasuh.
Sdr. Ali Arjah AK.
Manusia hidup melalui proses, dari bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa sampai menjadi tua. Masing-masing masa itu memiliki ciri-ciri secara fisik. Ciri fisik anak bayi misalnya tidak punya gigi, lalu semakin besar dia maka dia akan memiliki lalu ganti gigi hingga giginya kuat dan bila sudah tua maka gigi itu akan copot satu demi satu sampai ada orang tua yang tidak punya gigi lagi seperti layaknya anak bayi.                                                                                                  Diantara tanda-tanda fisik orang yang semakin tua adalah tumbuhnya uban di kepala atau rambut yang memutih pada bagian lain, misalnya kumis, jenggot dan cambang. Dengan tumbuhnya uban itu, maka manusia sebenarnya semakin diingatkan bahwa dia telah semakin tua dan relatif semakin dekat pada kematian, sehingga orang yang sudah tumbuh uban mestinya semakin sadar bahwa sebentar lagi dia akan kembali kepada Allah swt.
Ini pula yang menjadi salah satu sebab mengapa seorang muslim dilarang mencabut uban karena uban itu juga akan menjadi cahaya bagi seseorang dihari kiamat, Rasulullah saw bersabda yang artinya: “Jangan kamu mencabut uban, karena ia merupakan cahaya bagi seorang muslim pada hari kiamat” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa’i dari Amru bin Syu’aib ra).
Kalau mencabut uban saja tidak dibenarkan oleh Rasulullah saw, apalagi menyemir rambutnya dengan warna hitam, karena hal itu akan membuat warna putih dari rambutnya itu akan hilang sehingga seseorang yang sudah tua akan tetap kelihatan muda, dalam kaitan ini Rasulullah saw melarang seseorang menyemir rambutnya dengan semir rambut yang berwarna hitam, sedang warna lain tidak dilarang oleh Rasul saw. Di dalam hadits shahih diriwayatkan: “Jabir ra berkata: ketika Abu Quhafah, ayah Abu Bakar Ash Shiddik dihadapkan kepada Rasulullah Saw pada waktu futuh Makkah (Penaklukkan kota Makkah) sedang kepala dan jenggotnya bagaikan bunga matahari yang amat putih, maka Rasullullah saw bersabda: rubahlah warna rambut ini tetapi hindari warna hitam” (HR. Muslim).
Oleh sebagian ulama, masalah warna adalah temporer; kata “hindari warna hitam” bukanlah isyarat mutlak haram, tetapi makruh; maknanya masih ada pilihan. Akan halnya semir rambut yang tetap terpakai pada waktu shalat, karena semir rambut tidak najis sifatnya, maka tidak dilarang, tidak membatalkan shalat atau wudhu.
Diposkan oleh di 01.46                                                                     PUASA
Assalamualaikum Wr.Wb.Alhamdulillah Romadhon segera datang lagi dan semoga kita diberi kesempatan untuk menikmatinya. Ustadzah Umamah, menjelang Romadhon ini ada yang masih mengganjal di benak saya,                       1.     setahu saya, kuat berpuasa adalah salah satu syarat puasa. Yang ingin saya tanyakan adalah kuat itu seperti apa? Karena setelah saya cermati, banyak orang yang sakit parah bilang bahwa mereka kuat untuk puasa dan sebaliknya orang yang hanya sakit biasa (atau bahkan hanya karena lelah) tidak berpuasa dengan dalih sakit, tidak wajib puasa.                                     2.     Benarkah niat puasa itu tidak harus dimalam sebelum puasa (siang hari saat puasa itu)?
3.     Jika bersetubuh adalah aktivitas yang jelas membatalkan puasa, bagaimana dengan hanya keluar mani tanpa bersetubuh (karena bersentuhan dengan wanita atau hal-hal lain yang membuatnya “terangsang”)?
Mohon jawabannya, jazakillah. (Tie K, Unej)
Jawab:
Wa’alaikumsalam Wr.Wb
Alhamdulillah jika kita bahagia dengan datangnya Romadhon, semoga kita bisa jadikan sebagai momentum untuk lebih dekat dengan-Nya.
1)     Ukti Tie yang dirahmati Allah, sebelumnya perlu diketahui, dalam puasa ada dua syarat yakni syarat wajib dan syarat syahnya berpuasa. Syarat syahnya berpuasa antara lain :
  1. Islam (selain Islam maka tertolak puasanya)
  2. Mumayyiz (dapat membedakan baik dan buruk)
  3. Suci dari haid dan Nifas. Keduanya tidak wajib berpuasa, tetapi wajib menqadanya.
  4. Dalam waktu yang diperbolehkan puasa padanya. Dilarang puasa pada dua hari raya dan hari tasyriq (tanggal 11-13 Dzulhijjah)
Sedangkan syarat wajib puasa adalah :
a.    Berakal. Orang gila tidak wajib berpuasa
b.    Baligh. Anak-anak tidak wajib berpuasa
c.    Kuat berpuasa. Orang yang tidak kuat misalnya karena sudah tua atau sakit, idak wajib berpuasa.
Sebagaimana firman Allah dalam QS Al Baqoroh:185 ”Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Romadhon, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil). Karena itu, barang siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannnya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupi bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Dari ayat tersebut telah jelas bagi kita bahwa Allah sekali-kali tidak menghendaki kesukaran hamba-Nya. Oleh karena itu ada beberapa golongan yang diperbolehkan berbuka, antara lain :
a.    Orang yang sakit apabila tidak kuat berpuasa, atau apabila berpuasa sakitnya bertambah parah atau melambatkan penyembuhannya. Tentu saja kondisi ini menurut keterangan ahli kesehatan, bukan pernyataan relatif individu. Ia bisa mengqodo puasanya di hari yang lain jika sudah sembuh.
b.    Orang dalam perjalanan jauh (80,640 KM) boleh berbuka, tetapi wajib mengqodonya.
c.    Orang tua yang sudah lemah dan tidak kuat berpuasa baik karena tuanya atau fisiknya memang lemah. Ia boleh berbuka dan wajib membayar fidyah (bersedekah) tiap hari ¾ liter beras (yang mengenyangkan) kepada fakir miskin sesuai dengan firman Allah dalam QS Al Baqoroh:184 ”(yaitu) dalam beberapa hariyang tertentu. Maka barang siapa diantara kamu yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. ....”
d.    Wanita hamil dan menyusui anaknya yang apabila berpuasa akan timbul kemudlorotan pada dirinya sendiri atau beserta anaknya. Ada beberapa pendapat tentang hal ini. Pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad setelah selesai wajib mengqodo dan membayar fidyah. Pendapat Imam Abu Hanifah tidak mungkin satu kewajiban dengan dua pengganti. Oleh sebab itu, beliau berpendapat hanya wajib mengqodonya. Pendapat Imam Malik wanita menyusui wajib mengqodo dan membayar fidyah. Pendapat Ibnu Rusyd menetapkan salah satu hukum saja (mengqodo atau membayar fidyah) lebih baik daripada menghimpun keduanya. Pendapat yang menetapkan wajib mengqodo lebih baik daripada yang menetapkan wajib fidyah.
2)     Rukun puasa antara lain:
a.    Niat pada malam hari sebelum puasa di bulan Romadhon. Sabda Rosulullah :”barang siapa yang tidak berniat puasa pada malam harinya sebelum fajar terbit, maka tiada puasa baginya.” HR Lima orang ahli hadist.
Kecuali puasa sunnah, boleh berniat pada siang hari asal sebelum zawal (matahari condong ke barat). Dari ‘Aisyah, ia berkata,” Pada suatu hari Rosulullah datang (ke rumah saya). Beliau bertanya,’Adakah makanan padamu?’ saya menjawab,’Tidak ada apa-apa.’ Beliau menjawab,’Kalau begitu baiklah, saya puasa.’ Kemudia pada hari lain beliau datang pula. Lalu kami berkata,’Ya Rosulullah, kita telah diberi hadiah kue hiasan.’ Beliau berkata,’Mana kue itu? Sebenarnya saya dari pagi puasa.’Lalu beliau memnkana kue itu.” (HR Jama’ah ahli hadist, kecuali Bukhori)
b.   Menahan diri dari segala yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
3)     Ada 6 perkarayang membatalkan puasa, antara lain :
a.    makan dan minum yang disengaja
b.    muntah dengan sengaja, sekalipun tidak ada yang kembali ke dalam
c.    bersetubuh
d.    keluar darah haid atau nifas
e.    gila. Jika gila itu datang pada siang hari, maka batallah puasanya.
f.     Keluar mani dengan sengaja. Meski tidak bersetubuh, ini dapat membatalkan puasa karena keluar mani adalah puncak yang dituju pada persetubuhan. Adapun keluar mani pada saat bermimpi, menghayal dan hal-hal yang tidak disengaja lainnya, tidak membatalkan puasa.
Diposkan oleh MAS ZAKI MUHYIDDIN di 01.47  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar