Rabu, 02 September 2015

tanya jawab

Keputihan Najis Apa Tidak?


Tanya:
Saya ingin menanyakan tentang, bila sesuatu yang "basah-basah" itu adalah keputihan pada wanita. Apakah bila akan shalat harus dibersihkan dahulu, atau tidak perlu? Saya masih bingung dengan hal itu karena ada yang bilang itu najis dan harus dibersihkan dahulu, tetapi ada juga yang bilang tidak apa-apa. Terima kasih sebelumnya.

Airlanda
Via e-mail


Jawab:
Tentang hal ini, ada satu kaidah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, bahwa: "dalam masalah puasa, segala sesuatu yang masuk lewat 'lubang' tubuh manusia, maka akan membatalkannya. Sedangkan dalam masalah wudhu, segala sesuatu yang keluar dari lubang tubuh (dalam hal ini: kemaluan) depan dan belakang manusia, maka akan membatalkannya".

Kemudian, tentang sesuatu yang keluar dari kemaluan depan dan belakang manusia itu ada dua macam:
Pertama, mani. Ia bersipat suci, namun orang yang keluar mani dari tubuhnya diharuskan untuk melaksanakan mandi jinabah.
Kedua kotoran yang bersipat najis. Ia adalah segala sesuatu selain mani yang keluar dari dua kemaluan itu, baik madzi, wadhi (termasuk dalam kategori ini adalah keputihan wanita), dan air kencing, atau lainnya. Orang yang keluar kotoran semacam ini dari kemaluannya diharuskan untuk istinja atau bersuci. Yaitu dengan membersihkan kemaluannya menggunakan media air, atau benda suci semacam batu.

Dan khusus untuk wanita, 'sesuatu yang keluar' dari kemaluan depan itu ditambah lagi dengan keluarnya darah, yang terdiri dari tiga macam, yaitu: darah haidh (menstruasi), darah nifas (darah yang keluar sehabis melahirkan: maksimal selama 40 hari, menurut imam Syafi`i, atau lebih menurut imam yang lain), dan darah istihadhah (darah penyakit; yang masih keluar setelah melewati masa lima belas hari semenjak awal keluarnya darah menstruasi). Dua macam darah yang pertama mengharuskan mandi besar saat darah itu telah berhenti keluar. Dan macam darah yang terakhir (istihadhah) hanya mengharuskan dibersihkan, sebagaimana membersihkan air seni; namun sebelumnya tetap harus mandi besar dahulu untuk darah menstruasi yang telah selesai masanya itu (setelah lewat lima belas hari). Khusus untuk darah istihadhah, karena darah ini terus keluar, sementara orang itu sudah harus menjalankan ibadah, seperti shalat, maka dalam berwudhu ia perlu mengucapkan niat khusus: yaitu niat berwudhu demi sahnya shalat (atau: nawaitul wudhu listibaahatis shalaah), bukan niat wudhu untuk mengangkat hadats (nawaitul wudhu li raf`il hadats), karena hadatsnya masih tetap ada.

Demikian jawabannya, terima kasih.
Dewan Asaatidz Pesantren Virtual

Kafarat akibat bersetubuh



Assalamu'alaikum Wr Wb.

Apabila puasa romadhon batal akibat jima' di siang hari maka kafaratnya adalah 2 bulan puasa, gimana caranya orang perempuan yang masih subur berpuasa 2 bulan berturut-tanpa batal, padahal setiap bulannya kaum perempuan selalu menstruasi.


Wassalamu'alaikum Wr Wb.
Choirul

Jawab:

Perlu saya beritahukan sebelumnya, mengenai perbedaan pendapat mengenai pelaksanaan kafarat. Ada tiga macam kafarat: (1) memerdekakan budak; (2) puasa 2 bulan berturut-turut; (3) memberi makan 60 orang miskin, tiap orang 1 mud. Di antara 3 alternatif kafarat tersebut, seseorang harus melaksanakan dari yang pertama secara berurutan: harus memerdekakan budak; bila tidak menemukan atau tidak mampu memerdekakan budak, baru pindah ke alternatif kedua: jika tak mampu berpuasa 2 bulan berturut-turut, baru boleh memilih alternatif ketiga, memberi makan 60 orang miskin (1 orang 1 mud = 675 gram beras).

Berbeda dengan jumhur, menurut madzhab Malikiyah seseorang boleh langsung memilih yang mana saja di antara 3 alternatif. Yang paling utama, menurut madzhab ini, adalah yang terakhir memberi makan 60 orang miskin, dengan alasan mengandung nilai sosial.

Karena pada masa sekarang ini, sudah tidak ditemui lagi budak, tinggal sekarang 2 pilihan yang terakhir: puasa dua bulan berturut-turut (tataabu') dan memberi makan 60 orang miskin. Pengertian 2 bulan berturut-turut adalah keharusan melaksanakannya secara berturut-turut jika tidak ada 'udzur, seperti sakit, haid, nifas, bepergian, dll. Termasuk di sini juga karena lupa, salah menghitung, dan semacamnya. Yang dianggap membatalkan tataabu', karenanya harus mengulang sejak awal, adalah bila ia sengaja membatalkan puasa kafarahnya tanpa ada 'udzur.


M. Rofiq Mu'allimin Ahmadi

Kejujuran dalam al-Qur'an

Assalamualaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, saya mau tanya tentang dasar2 aspek JUJUR dalam berkehidupan sehari2, baik dari Al-Quran maupun As-Sunnah. Karena saya mengamati kok negara2 islam banyak yang bersikap tidak jujur dalam berkehidupan sosial tidak seperti kebanyakan orang2 di negara2 maju. Seperti misalnya, dalam menjalankan roda pemerintahan dalam hal pelayanan masyarakat, banyak kasus yang tidak memperhatikan aspek kejujuran.

Atas jawabannya, saya ucapkan terima kasih.

Wassalamualaikum,
Irfan

Jawab:

Ada beberapa aspek JUJUR dalam Islam:

Pertama, Jujur dalam kehidupan sehari-hari; merupakan anjuran dari Allah dan Rasulnya. Banyak ayat Al Qur'an menerangkan kedudukan orang-orang jujur antara lain: QS. Ali Imran (3): 15-17, An Nisa' (4): 69, Al Maidah (5): 119. Begitu juga secara gamblang Rasulullah menyatakan dengan sabdanya: "Wajib atas kalian untuk jujur, sebab jujur itu akan membawa kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan jalan ke sorga, begitu pula seseorang senantiasa jujur dan memperhatikan kejujuran, sehingga akan termaktub di sisi Allah atas kejujurannya. Sebaliknya, janganlah berdusta, sebab dusta akan mengarah pada kejahatan, dan kejahatan akan membewa ke neraka, seseorang yang senantiasa berdusta, dan memperhatikan kedustaannya, sehingga tercatat di sisi Allah sebagai pendusta" (HR. Bukhari-Muslim dari Ibnu Mas'ud)

Kedua, kejujuran dan kebohongan dalam kehidupan politik; ada hadits yang menyatakan dengan tegas bahwa Rasulullah bersabda: "Ada tiga kriteria manusia yang tidak dilihat dan disucikan Allah swt. di hari akherat bahkan bagi mereka adzab yang pedih adalah: Orang sudah tua yang berzina, Pemimpin yang berdusta, dan Orang sombong.

Adapun kebohongan yang diperbolehkan dalam kaitan untuk kegiatan berpolitik, yaitu apabila kebohongan itu bisa meredam keributan sosial agar tidak terjadi perpecahan. Dalam hal ini Rasulullah saw. memberi keringanan seperti dalam hadis dari Ummi Kaltsoum: "Saya tidak mendengar Rasulullah saw. memberi keringanan pada suatu kebohongan kecuali tiga masalah: Seseorang yang membicarakan masalah dengan maksud mengadakan perbaikan (Islah); seseorang membicarakan masalah pada saat konflik perang (agar selamat), dan seseorang yang merayu istrinya begitu juga istri merayu suami.(HR. Muslim) Ada juga hadits yang menyatakan, Rasulullah bersabda: "Bukanlah pendusta orang yang ingin melerai konflik sesama, hingga orang tersebut berkata: semoga baik dan menjadi baik" (HR. Mutafaq Alaih)

Begitulah batas kejujuran dan kebohongan secara dasar yang berkaitan dengan keseharian dan politik. Dan sudah jelas bahwa tujuan dari keduanya adalah untuk sebuah kedamaian.

Namun dalam kaitan politik kontemporer yang lebih pelik lagi dan kompleks, Anda sendiri bisa memilah-milah bagaimana kehidupan politik para penguasa sekarang sangat tidak memperhatikan nilai kejujuran. Namun kita menyadari bahwa sistem negara Islam sendiri juga masih dalam perselisihan hingga sebaiknya yang perlu kita lihat adalah person atau oknum dalam memimpin kepemerintahan tersebut. Selanjutnya kita berdoa agar sistem yang memberi peluang terhadap kebohongan bisa diminimalisir. Dan itu berangkat dari sistem kepribadian kita.

Terimakasih.

Eva Fachrunnisa

Jilbab, Salat, dan Keluarga



Tanya:
Ada beberapa hal yang ingin saya kemukakan, yaitu:
  1. Saya sudah menikah selama hampir dua tahun, istri 25 tahun, masih kuliah dan bekerja. Kami belum dikaruniai keturunan. Kira-kira pada akhir tahun 1997 (waktu itu kami belum menikah), istri saya memutuskan untuk memakai kerudung. Saya kaget, tetapi senang juga. Masalahnya, pada akhir-akhir ini dia sering mengeluh dan timbul kesan seperti menyesali keputusannya itu dengan alasan yang menurut saya kurang jelas, apakah itu pekerjaan (padahal tidak ada penekanan untuk itu), pergaulan (itu pun sebenarnya tidak jelas juga), dan keinginan itu timbul bila ada pertengkaran diantara kami. Saya sering mengingatkannya, bahkan saya membebaskannya untuk berpikir dan memutuskan apakah akan memakai kerudung atau tidak, karena saya pikir tidak baik juga kalau ditekan. Saya ingin penjelasan, bagaimana kira-kira hukumnya mengenai hal ini, dan saya meminta saran bagaimana untuk menjelaskannya kepada istri saya.
  2. Istri saya lahir dari keluarga "broken home" karena orang tuanya cerai ketika dia masih umur tiga tahunan. Karena itu masalah keluarga menjadi masalah yang sangat peka sekali, baik bila itu datangnya dari keluarga saya atau keluarga dia sendiri. Yang paling berpengaruh padanya (menurut pengamatan saya dan penuturan dia sendiri) adalah ayah dan neneknya yang telah merawat dan mendidik dia selama ini. Akhir-akhir ini kami sering cekcok dengan masalah yang rasanya sulit sekali diputuskan. Adanya adik ipar laki-laki (adik kandung saya), omongan orang tua, masalah di keluarganya yang kebetulan saat ini sedang kurang ekonominya, pekerjaan dan lain-lain menjadi satu. Saya bingung bagaimana meluruskannya satu persatu.
  3. Saya sering mengingatkan istri saya agar shalat. Meskipun saya sendiri sering lewat, tetapi saya tetap melaksanakannnya. Kadang-kadang alasannya malas, bagaimana saya menyikapinya, apakah harus keras, lembut atau bagaimana. Bila keras, dia selalu menentangnya, bila lembut kok nggak berpengaruh. Saya ingin agar kami selalu saling mengingatkan dalam kebaikan.
Jawab:

Jawaban nomor 1:
Mas Nugrohadi,
Masalah kerudung memang banyak penafsiran dalam hukum Islam, walaupun begitu masalah pakaian wanita secara umum tak lepas dari pandangan hukum Islam, karena menyangkut psiko-sosial terhadap eksistensi wanita itu sendiri yang intinya untuk mengangkat derajat kaum hawa.

Islam sendiri sebetulnya bukan sebuah agama yang baru. Islam merupakan ajaran pamungkas atau ajaran yang menyempurnakan ajaran samawi sebelumnya yaitu Yahudi dan Nasrani. Anda sendiri sering melihat biarawati ada keharusan memakai kerudung. Cara berpakaian kerudung seperti tersebut memang sebuah ajaran untuk mendekatkan diri pada aspek psikologis kewanitaan. Di mana wanita lebih cenderung bersifat kontradiktif: pasrah tapi asertif (membaja-patah bila dibengkokan), hingga perlu bentuk lain untuk meng-cover, yaitu bagaimana berpenampilan. Ada falsafah jawa mengatakan, ajining raga ana ing busana, harkat sebuah badan ada di busana. Dengan demikian secara ajaran samawi maupun ajaran yang dilahirkan oleh kebudayaan manusia mempunyai persepsi yang sama mengenai masalah pakaian. Tinggal bagaimana menyempurnakan saja bentuk pakaian itu agar benar-benar melindungi aurat kita. Penekanan menutup aurat dalam al-Qur'an terdapat dalam QS. 7:26 dan di (QS. 33:59) Allah menekankan lagi mengenai masalah metode berpakaian jilbab.

Adapun kembali pada permasalahan istri Anda, harapan saya Anda bisa menerangkan hal ini semua dengan baik. Bahkan Anda perlu membina nuansa baru dengan istri Anda, carilah tempat yang tenang, misalnya sesekali weekend yang murah meriah di tempat yang menyejukkan agar Anda bisa bercerita segala permasalahan (termasuk permasalahan di atas) dengan segar pula disertai dengan canda. Tanpa Anda harus menekan atau memaksa istri Anda, sebab kesadaran dari dalam (inner-consciousness) itu lebih baik dari pada sebuah pemaksaan karena Islam tidak mengajarkan pemaksaan. Namun kelugasan Islam akan selalu memberikan penjelasan yang benar itu benar meski terasa pahit (coba resapi QS.2: 256)

Jawaban nomor 2:
Bentuk problem solving (pemecahan masalah) yang sering ditawarkan oleh para teoritis Muslim mungkin akan menjadikan alternatif Anda untuk memutuskan permasalahan.

Pertama, Kembali merenungi diri sebagai hamba Allah dengan sesering mungkin
membaca istighfar, memohon sebuah pengampunan agar kita terlepas dari segala
penyesalan diri yang telah terukir dari kejadian yang telah lewat Sekaligus
mohon doa agar hal-hal yang dikehendaki semoga tak terulangi.

Kedua, Kita menyadari bahwa setiap hidup memerlukan langkah secara bergantian --tidak berbarengan-- agar tujuan tercapai. Seperti halnya mengangkat beban berat, sebaik bergantian yakni satu-persatu sesuai dengan kemampuan dan itu membutuhkan waktu disertai kesabaran. Catat kembali permasalahan Anda yang menghimpit, dari yang paling menghimpit sampai yang paling menyenangkan, lalu berikanlah lawan problem seperti:
  • Saya sering cekcok dengan istri X saya harmonis dengan istri
  • masalah adik saya sangat mengganggu rumah tangga X masalah adik saya sangat menghibur rumah tangga
  • omongan orang tua menyakitkan X omongan orang tua menyenangkan.
Lalu dicari problem yang lebih gampang untuk dipecahkan, agar problem yang dicatat menyedihkan bisa berbalik menyenangkan. Hal ini berurut terus. Tentunya dengan hati yang tenang. Ketiga, keterbukaan dengan istri ikut membantu dalam memecahkan problem. Sapalah istri Anda dengan baik dan junjunglah istri Anda dengan ketulusan agar keterbukaan itu muncul. Dengarlah keluhan istri anda dengan empati.

Jawaban nomor 3:
Islam mengajarkan pendidikan keluarga harmonis, dengan cara menunaikan salat. Dan kita sendiri mengetahui bahwa salat adalah tiang dari agama kita. Salat sendiri adalah doa. Doa berarti permohonan. Allah-- Dzat yang menjadi tujuan dari segala permohonan-- memberikan tuntunan untuk memohon yaitu pada kewajiban ritual salat. Bagaimana harapan dan permohonan kita terkabul bila kita tidak mengikuti tuntunanNya. (Mungkin kata-kata saya ini sudah Anda ketahui, dan mari kita resapi kembali)

Adapun salat sebagai pendidikan keluarga yang harmonis adalah dengan cara berjamaah sebisa mungkin. Semakin sering semakin bagus. Dari situ kita bisa meresapi bagaimana nikmatnya memohon pada Allah SWT. bersama-sama. Usai salat hadapkanlah diri anda ke istri sambil berbicara hati ke hati mengenai segala permasalahan. Dan saling mengingatkan dalam kebaikan, tentunya dengan baik pula yaitu saling menempatkan ego kita pada penerimaan sebuah kesalahan, lalu beristigfar bareng-bareng. Rata-rata semua (dari salat sampai ngobrolnya) itu memerlukan waktu 15 menit lebih..., dan setelah itu kembalinya status seorang suami dan istri yang mesra, sesuai adat orang timur, bila sang istri mencium tangan sang suami dan sang suami mencium kening istri.

Begitulah penjelasan saya, semoga dapat sedikit meringankan beban Anda.
Terimakasih.

Wallahu A’lam

Istri yang tak direstui keluarga



Assalamualaikum Wr.Wb,
Saya sudah menikah beberapa bulan dan lebaran yang akan datang ini adalah lebaran pertama kami sejak berumah tangga. Sampai dengan saat ini keluarga dari pihak suami saya (ibu dan saudara-saudaranya, bapak sudah almarhum) belum bisa menerima pernikahan kami. Alasan mereka membenci saya adalah dengan dalih suku, latar belakang keluarga dan beberapa fitnah keji yang belum terbukti kebenarannya yang dilontarkan orang2 kepada saya dan mereka terima bulat-bulat tanpa re-check lagi.

Meskipun demikian, saya tidak ambil pusing dan Insya Allah pernikahan yang telah saya jalani ini kami bangun dan berangkat dari niat suci untuk membentuk keluarga yang sakinah. Oleh karenanya seberapapun anggapan tidak baik mereka terhadap saya, tidak saya pedulikan karena saya telah menganggap dan memperlakukan mereka sebagai bagian dari hidup saya. Suami saya yang mengenal saya dengan cukup baik, mengetahui hal tersebut dan mempercayai saya. Oleh karena itulah dia tidak ragu untuk memutuskan meikahi saya meskipun tidak direstui oleh ibu dan saudara-saudaranya.

Yang menjadi permasalahan saya adalah pada lebaran yang akan datang, saya dan suami sebenarnya mempunyai peluang untuk dapat datang dan bersilahturahmi dengan keluarganya. Sejujurnya saya sangat ingin bersilahturahmi dan bergabung dengan mereka. Namun mengingat atas perlakuan dan sambutan mereka terhadap saya dulu, membuat saya sedikit trauma dan juga takut membuat suasana lebaran yang ada menjadi kacau gara-gara kehadiran saya di tengah mereka.

Apa yang harus saya lakukan dalam situasi yang seperti ini? saya telah berdiskusi dengan suami dan dia menyerahkan sepenuhnya kepada saya. Perlu diketahui bahwa saya tidak pernah menghalangi suami untuk memberikan membantu keluarganya. Malahan saya terkadang menyarankan untuk dapat meningkatkan jumlah bantuan karena alhamdulillah dengan penghasilan kami berdua, tentunya tidak terlalu sulit untuk melakukan hal tersebut. Mohon saran dan pencerahannya.

Wass. Wr.Wb
Saya yang sedang bingung

Jawab:

Saudari yang lagi bingung...

Sebelumnya saya bersyukur sekali dan bangga atas kesadaran diri Anda mengenai sikap positif terhadap tindakan keluarga suami. Dan hal itulah yang menjadikan modal Anda bagaimana nantinya dalam menghadapi keluarga suami yang tidak merestui hubungan perkawinan Anda.

Jika ditinjau dari masalah hukum agama, ketidaksetujuan dari pihak keluarga suami tidak mempengaruhi sah dan tidaknya perkawinan Anda, dalam hal ini perkawinan Anda sah menurut hukum Islam selama Anda telah memenuhi syarat-syarat dan rukunnya.

Lepas dari masalah hukum semoga Anda lebih tidak kuatir bila nantinya Anda berhadapan dengan keluarga suami Anda. Menurut bebebrapa ahli pengembangan kepribadian yang mungkin pernah Anda baca juga, dan selaras dengan ajaran Islam yang universal bahwa lingkaran pengaruh dalam sikap kejiwaan Anda berangkat dari positif-thinking (berfikir positif = husnudzdzon) terhadap lingkungan baru. Hal ini akan memberikan respon dari dalam, semisal ketenangan Anda dalam menghadapi peristiwa baru dan dapat menguasai diri.

Kemudian sikap positif-thinking tersebut bisa Anda kembangkan pada ketulusan dalam berbuat termasuk membantu keluarga Anda. Adapun ketulusan sendiri mempunyai makna sesuatu yang berangkat dari sinergi batin menuju kebahagiaan lahir, arti gampangnya ketulusan merupakan keterpaduan batin dengan perbuatan yang akan melahirkan kebahagiaan. Seperti apabila kita memberi sedekah orang miskin tanpa tendensi membuat kita nyaman dan gembira tanpa harus berpikir mau diapakan pemberian itu, bahkan kita dengan melupakannya karena tertumpuk oleh perbuatan lain.

Atau kita coba kembali melihat Al-Qur'an secara praktis dalam surat As-Syuura (42) ayat ke-23 yang memberikan penafsiran mengenai respon dari niat positif dan tulus merupakan suatu karunia yang besar dan menggembirakan bagi hambaNya yang beriman dan beramal saleh. (Disini Allah mengajarkan kepada RasulNya juga kita agar mengatakan dalam suatu prinsip) "Aku tidak meminta kepadamu segelintir upah pun atas seruanku (untuk beriman dan berbuat saleh) kecuali kasih sayang dan kekeluargaan".

Implementasi dari itu semua berkaitan pula dengan cara Al-Qur'an dalam memberikan jalan bahwa awal sekali ketulusan itu berbentuk sikap konsisten, berupa ucapan-ucapan yang baik tanpa menghiraukan reaksi yang berbalik. Al-Qur'an juga telah mengajarkan kepada kita mengenai hal itu: "Ucapan yang baik dan pemaaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan si penerima, mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati." (QS. Al Baqarah (2): 263). Dari situ akan berlanjut berupa sikap positif Anda yang berupa ketenangan tanpa kekhawatiran dan tak gusar. Itu adalah konskuensi logis dari ucapan baik dan pemaaf Anda.

Anda juga bisa membaca apa yang pernah diucapkan Lilian Gie, seorang konselor kepribadian asal Amerika selalu meberikan saran demikian: "Selalu bersikap tulus terhadap orang yang Anda ajak bicara, akan menambah kepercayaan diri Anda dalam mengembangkan interaksi publik".

Begitulah saran saya, dan semua kita serahkan kepada Allah dengan do'a dan usaha, semoga berhasil dan Anda (begitu juga saya) bisa tercerahkan.

 



Ingin Bangun Untuk Shalat Tapi Telat Terus



Tanya:
Saya bekerja pada pada pabrik yang bekerja dari jam 8 malam sampai jam 8 pagi. Sehabis bekerja saya pulang ke rumah dan tidur, kadang sampai jam 16:00. Setelah itu saya shalat Dzuhur dan Ashar dalam waktu Ashar. Sebenarnya saya sudah berusaha bangun sebelum masuk waktu Ashar, tetapi selalu kelewatan. Diperbolehkan-kah apa yang saya lakukan? Kalau memang boleh bagaimana cara dan niatnya? Bisakah untuk shalat-shalat yang lain (secara tidak sengaja)?

Demikian, kami tunggu jawabannya.

M. Aswan Hendrik
ASWAN@m...


Jawab:
Kami tidak bisa membayangkan betapa rasa capai Saudara dengan bekerja semalaman penuh tanpa istirahat. Tetapi memang harus dipahami, bahwa bekerja (mencari rizki) merupakan kewajiban bagi setiap muslim, dan kita memang harus menyesuaikan diri dengan irama bekerja di tempat kita bekerja, termasuk jam kerja dan aturan-aturannya.

Tentang praktek shalat seperti yang Saudara lakukan, kalau memang hal tersebut di luar kemampuan Saudara: semisal sudah memasang weker namun tetap tidak bisa bangun, dalam keadaan tersebut (tertidur), kewajiban shalat Anda telah gugur. Perlu diingat, ada beberapa hal yang menggugurkan kewajiban agama (syara'), diantaranya: lupa, tidur, gila dan mabuk. Tetapi gugurnya kewajiban saat itu bukan berarti Saudara terlepas dari tanggungan shalat sampai melaksanakannya (menggantikannya), yaitu dengan cara mengqadla shalat.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika kembali dari peperangan Khaibar, berjalan pada malam hari bersama para sahabat, dan ketika beliau merasakan kantuk, memerintahkan para sahabat untuk berhenti dan beristirahat dan berkata pada Bilal "Berjaga-jagalah malam ini", kemudian Bilal shalat beberapa rekaat dan berjaga-jaga. Rasulullah SAW tertidur bersama para sahabat, dan ketika mendekati waktu fajar, Bilal bersandar pada kuda tunggangannya sambil menghadap pada arah fajar, Bilal merasakan kantuk dan akhirnya tertidur, tak satupun dari para sahabat terbangun hingga panas matahari mengenai mereka, yang pertama kali bangun adalah Rasulullah SAW, terkejut dan berkata pada Bilal, "Hai Bilal", kemudian Bilal menjawab "telah menimpa padaku seperti yang menimpa padamu ya Rasul"(kantuk). Kemudian Rasulullah SAW berkata pada para sahabat "Tambatkan tunggangan kalian", kemudian para sahabat melakukannya. Rasulullah SAW berwudlu dan memerintahkan pada Bilal untuk beriqomat, kemudian Rasulullah bersama para sahabat shalat (qadla) berjamaah dan ketika selesai shalat Rasulullah SAW bersabda "Barangsiapa lupa mengerjakan shalat, maka kerjakanlah shalat ketika Ia mengingatnya, dan sesungguhnya Allah SWT telah berfirman "Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku".

Adapun cara dan niatnya seperti Saudara melakukan shalat tersebut tepat pada waktunya dengan niat dalam hati mengqadla' shalat (tidak wajib melafadzkannya), dan ini juga berlaku pada semua shalat wajib yang tidak sengaja terlewatkan. Tidak wajib terburu-buru melaksanakannya, karena Nabi SAW pada hadits di atas masih memerintahkan para sahabat untuk menambatkan tunggangan mereka sebelum melaksanakan qadla' shalat, akan tetapi para ulama melarang menunda melaksanakan qadla' shalat sampai datang waktu shalat berikutnya atau melaksanakannya pada waktunya di hari kemudian, karena kita tidak tahu apakah besok masih akan melihat matahari atau malah sebaliknya.

Kewajiban shalat bagi setiap muslim adalah mutlak, berbeda dengan ibadah lain seperti puasa, zakat dam haji. Kalau dalam bulan Ramadhan kita wajib puasa, sedang pada masa itu kita sakit, atau menemui kendala lain, maka kita bisa tidak berpuasa dan menggantikannya di hari lain. Lain halnya dengan shalat yang dalam Al Qur'an datangnya perintah tersebut tanpa syarat tertentu, artinya perintah Allah SWT untuk mengerjakan shalat itu, dalam keadaan apapun juga, dan tidak ada alasan untuk tidak melakukannya, (walaupun dengan hanya menggerak-gerakkan anggota badan bagi yang sakit keras). Pesan kepada kita semua, kalau memang susah bangun untuk shalat, gunakan akal agar bisa bangun tepat pada waktunya: semisal membunyikan weker, pesan kepada teman dan saudara yang biasanya bisa bangun lebih awal, atau dengan cara lain. Mudah-mudahan kita bisa selalu dekat dengan Allah, karena jalan itulah yang membuat hati kita tenteram. Amien.

Mutamakin Billa, Lc 

Hukumnya Mendatangi Walimah



Tanya:
Saya punya dua pertanyaan:
1. Bagaimana hukumnya menghadiri undangan, seperti undangan pernikahan dan yanglainnya, tapi kita ada halangan karena menengok orang tua yang sakit dan waktunya bersamaan, ataupun kita tidak hadir karena kita tidak punya apa-apa untuk memberikan kado ataupun uang.
2. Bagaimana kalau suami sedang sholat tersenggol istrinya yang lewat, tapi tidak bersentuhan kulit sedangkan si istri lagi hed (datang bulan ).

Demikian pertanyaan saya, Jazakumullahu khairan katsiraa

Asep Saefurrohman

Jawab:

Sdr. Asep,
"Waliimatun nikaah" (pesta pernikahan) hukumnya sunat. Dia disyari'atkan, pada dasarnya, tentu agar pernikahan sepasang pengantin baru itu menjadi lebih tersiar. Di samping juga untuk mengungkapkan rasa kegembiraan dan syukur atas terikatnya kedua mempelai dalam satu ikatan nikah. Salah satu bagian yang sakral dalam perjalanan kehidupan umat manusia.

Maka, karena ingin mengungkapkan kesyukuran dan kegembiraannya, si empu hajat lantas mengundang tetangga-tetangga, kawan-kawan, dan kolega-kolega, juga sanak famili. Yang terpenting dari itu semua adalah diperolehnya doa-doa selamat dari orang-orang yang diundang. Kita pun kalau hadir seharusnya dalam rangka dan niat mendoakan juga untuk mengucapkan selamat kepada kedua mempelai.

Memberikan kado atau uang memang tidak terlarang. Di banyak daerah bahkan hal itu seakan-akan menjadi keharusan: rasanya harus membawa kado atau uang jika kita akan mendatangi pesta pernikahan, atau setidaknya ada perasaan tidak enak . Perasaan tidak enak jika tidak memberikan kado atau uang itu memang banyak muncul. Namun itu semata-mata karena adat atau kebiasaan yang tidak baik.

Ada perbedaan di antara ulama, antara yang mewajibkan menghadiri undangan pesta pernikahan dan yg tidak mewajibkan, yakni sekedar sunat. Seperti itu (wajib atau sunah) jika memang dalam pesta tersebut tidak ada kemungkaran-kemungkaran, seperti dansa laki-laki perempuan, mabuk-mabukan, dan semacamnya. Karena hukumnya menjadi haram mendatanginya, jika ada kemungkaran-kemungkaran seperti itu.

Juga hukumnya tidak wajib lagi, jika kita mempunyai udzur, seperti harus menjaga orang sakit (jika tidak ada orang lain yang menggantikan). Maka jika Anda memang tidak ada waktu untuk menghadiri udangan tersebut karena harus menjenguk orang tua yg sakit karenanya harus dijaga, maka Anda terhitung berhalangan.

Mengenai kado, Anda boleh saja menghadiri acara walimah tanpa membawa kado atau uang. Memang untuk menghindar dari adat-istiadat itu sulit sekali. Di beberapa daerah, bahkan, kebiasaan memberikan kado atau uang hampir menjadi utang-piutang. Yg mempunyai hajat sudah tamak lebih dulu, bahwa dia akan mendapat banyak sumbagan dari hadirin. Para hadirin pun demikian rasanya tidak bisa hadir tanpa memberikan sumbangan, entah berupa kado atau uang. Tentu seperti itu sudah melenceng dari maksud disyari'atkannya walimah. Orang mengadakan walimah menjadi tidak ikhlas, walimah tidak lagi murni menjadi refleksi rasa syukur, namun tersimpan harapan lain, ingin mendapat sumbangan dari para tetangga dan handai tolan. Seandainya mau tak hadir, jelas tak enak, karena merasa berhutang, kawan yg mengundangnya pernah datang ke walimahnya dan membawa sumbangan. Serba repot memang.

Tapi seperti itu, bagaimanapun, harus diingat, adalah kebiasaan-kebiasaan yg tidak baik. Apapun yg tak tulus itu tidak baik.

Tinggal sekarang kembali ke prinsip disyariatkannya walimah, yaitu untuk mengungkapkan rasa syukur dan untuk menyiar-nyiarkan keterikatan dua mempelai dalam satu akad suci, pernikahan.

Namun, kalaupun Anda masih saja terbelit rasa rikuh (kurang enak, atau malu) datang tanpa membawa sumbangan, sementara Anda tidak mempunyai uang atau kado, silahkan saja memilih pendapat bahwa mendatangi walimah itu sunah hukumnya.

2. Mengenai suami yang tersentuh (secara tidak langsung, terhalang oleh kain) oleh sang istri yang sedang datang bulan, tentu itu tidak membatalkan wudlu, sehingga tidak membatalkan salat suaminya. Perempuan yang datang bulan sama saja dengan yg tidak, dalam hal membatalkan wudlu karena bersentuhan. Ia tidak lantas harus dijauhi.

Demikian, semoga bermanfat.
 



Hukum Terapi Air Seni dan Kesehatan Kita



Tanya:
Assalamualaikum Wr.Wb.

Saya ingin menanyakan pandangan fikih terhadap terapi pengobatan menggunakan terapi air seni (TAS). Bukunya sekarang sudah beredar disamping penyebarluasannya dilakukan melalui seminar dan juga adanya kesaksian/bukti dari orang yang sudah sembuh setelah melakukan terapi tersebut. Dalam sebuah seminar dikatakan bahwa: "air seni dapat menyembuhkan segala penyakit". Yang saya yakini selama ini air seni bagaimanapun tetap najis. tetapi kalau sudah banyak yang membuktikan keampuhannya, apakah air najis boleh digunakan untuk obat?

Atas jawaban dan perhatiannya, saya haturkan terima kasih. Jazaakumullohu khoiran katsiiraa, amin.
Wassalamualaikum. Wr.Wb.

Dari saya,
Amin Fauzan
af_329@yxxx


Jawab:
Bismillahirrahmanirrahim. Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali Dia menurunkan obatnya juga. Yang diketahui oleh orang yang mengetahui(mempelajari)-nya, dan yang tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya". (H.R. Ahmad). Dan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan ibnu Majah, Rasulullah Saw bersabda: "Allah tidak hanya menurunkan penyakit, namun juga menurunkan obatnya".

Dari keterangan tersebut, terdapat jaminan bahwa segala penyakit ada obatnya. Dan ketika suatu obat atau terapi yang tepat dipergunakan untuk mengobati penyakit yang sesuai, maka penyakit itu pun akan dapat disembuhkan. Seperti diterangkan oleh sabda Rasulullah Saw: "Untuk setiap penyakit ada obatnya. Maka apabila obat itu mengenai suatu penyakit, ia akan sembuh dengan seizin Allah Ta'ala" (H.R. Muslim).

Oleh karena itu, Rasulullah Saw memerintahkan umatnya untuk berobat. Rasulullah Saw bersabda: "Wahai hamba Allah, berobatlah, karena Allah tidak hanya menurunkan penyakit, tetapi juga menurunkan obat. Kecuali bagi satu penyakit, yaitu penyakit tua". (HR. Ahmad, dan penulis kitab sunnan yang lain, serta Ibnu Hibban dan Hakim, dari Usamah bin Syarik).

Usaha memelihara kesehatan dan berobat juga dilakukan oleh Rasulullah Saw. Beliau melakukan hal itu dengan cara, antara lain: menjaga tubuh, seperti menahan diri untuk tidak berlebihan dalam mengkonsumsi makanan, karena lambung adalah sarang penyakit; menjaga diri dari orang yang sedang menderita penyakit menular dan tidak memasuki wilayah yang sedang diamuk penyakit menular; menkonsumsi makanan yang tepat, seperti mengkonsumsi madu, yang beliau sabdakan berkhasiat untuk mengobati banyak penyakit, dan berdoa. Usaha untuk berobat dari penyakit juga beliau lakukan. Dalam hadits sahih riwayat Muslim dari Jabir, diriwayatkan bahwa Nabi Saw pernah mengirimkan seorang tabib/dokter kepada Ubay bin Ka'ab. Lalu tabib itu memotong daging tumbuhnya dan mencosnya (menempelkan besi panas membara). Ini berarti sang dokter telah melangsungkan operasi pada diri Ubay. Dari Sa'ad bin abi Waqqash, ia berkata: "Ketika aku sakit, Rasulullah Saw datang menjengukku. Lalu beliau meletakkan tangannya di antara dua dadaku. Selanjutnya beliau bersabda: "Engkau sedang terserang terserang penyakit dada. Datangilah Harits bin Kaladah, saudaranya Tsaqif, karena dia ahli mengobati penyakit". (H.R. Abu Dawud).

Pernah suatu ketika, salah seorang sahabat terluka dan banyak mengeluarkan darah. Lalu Nabi Saw memanggil dua orang dari Bani Ammar. Setelah kedua orang itu melihat sahabat yang terluka, Rasulullah Saw bertanya kepada keduanya: "Siapa di antara kalian bedua yang lebih ahli dalam mengobati penyakit?" mendengar hal itu, sahabat yang terluka berkata: "Memangnya ada kebaikan di dalam kedokteran, ya Rasulullah Saw?". Beliau bersabda: "Yang menurunkan obat itu adalah Dia Yang menurunkan penyakit". (H.R. Malik dalam al Muwath-tha).

Kemudian, apakah boleh menggunakan materi yang haram atau najis untuk berobat? Tentang hal ini, Rasulullah Saw bersabda: "Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada barang yang diharamkan atasmu". (H.R. Bukhari). dan dalam hadits riwayat Baihaqi dalam Sunan Baihaqi Kubra dari Abi Darda, Rasulullah Saw bersabda:
"Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan obatnya, dan menjadikan bagi setiap penyakit obatnya tersendiri. Maka berobatlah kalian, dan janganlah kalian berobat dengan barang yang haram". Nafi' berkata: adalah Ibnu Umar, jika ia memanggil dokter untuk mengobati salah seorang anggota keluarganya, ia mensyaratkan agar tidak mengobatinya dengan sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT". Sementara dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas r.a. diriwayatkan: "Bahwa sekelompok orang dari Kabilah 'Urainah datang kepada Rasulullah Saw untuk berbai'at masuk Islam. Saat berada di Madinah, rombongan tadi mencoba khamar Madinah (sebelum khamar diharamkan, pen), dan mereka pun jatuh sakit. Mereka kemudian mengadukan hal ini kepada Rasulullah Saw. Mendengar hal itu, Rasulullah Saw bersabda: "Maukah kalian mendatangi penggembala unta kami, untuk meminum air seni onta tersebut dan susunya? mereka menjawab: "Baiklah". Setelah itu mereka mendatangi penggembala tadi, untuk kemudian meminum susu unta tersebut dan air seninya. Dan mereka pun segera sembuh dari sakit mereka.....". (H.R. Bukhari dan Muslim, dari banyak riwayat). Dan dalam satu riwayat disebutkan: "kemudian Rasulullah Saw memerintahkan mereka untuk meminum air seni unta tersebut dan susunya". Sedangkan riwayat yang menceritakan bahwa seorang sahabat pernah meminum air seni Rasulullah Saw, yang didiamkan oleh Rasulullah Saw tanpa memberikan teguran, juga riwayat yang menceritakan bahwa seorang sahabat pernah meminum darah beliau, setelah membekam (menyedot dengan alat untuk mengeluarkan darah kotor) beliau, yang kemudian juga didiamkan oleh Rasulullah Saw. Dua riwayat ini oleh ulama dikatagorikan sebagai bagian dari kekhususan beliau, yang tidak berlaku bagi orang lain. Sehingga tidak masuk sebagai dasar istinbath hukum.

Imam Nawawi, dalam kitab Majmu' menjelaskan bahwa ulama-ulama madzhab Syafi'i, setelah mengkaji hadits-hadits diatas, menarik kesimpulan bahwa: "berobat dengan sesuatu yang najis baru dibolehkan jika tidak ada obat yang suci yang dapat menyembuhkan penyakit tersebut. Sedangkan jika obat yang suci itu ada, maka sesuatu yang najis itu haram, tanpa diperselisihkan lagi. Dari sini, hadits yang berbunyi:
"Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada barang yang diharamkan bagi kalian", dimengertikan (dihamalkan) bahwa hal itu haram jika ada obat lain yang suci yang dapat mengobati penyakit tersebut, dan tidak haram jika tidak ada obat lainnya."

Dalam kitab Raudhah Thalibin dijelaskan lebih lanjut:
"Boleh meminum air seni dan darah untuk hal itu, juga boleh berobat dengan barang-barang yang najis lainnya, seperti daging ular, kalajengking, dan pasta yang mengandung alkohol".

Abu Hanifah berpendapat: boleh meminum air seni dan darah, serta semua barang yang najis untuk berobat.

Ulama madzhab Syafi'i memberikan catatan untuk pengobatan dengan barang yang najis tersebut: "hal itu boleh jika orang yang mengobati itu adalah ahli dalam pengobatan (dokter ahli), yang mengetahui bahwa tidak ada alternatif lain untuk pengobatan penyakit itu".

Demikian juga seperti dijelaskan dalam kitab An Nihayah dan at Tahdzib, seperti dikutip oleh pengarang Hasyiah ibnu 'Abidin, bahwa: Orang yang sakit boleh berobat dengan air seni, darah, atau bangkai jika telah diberitahukan oleh dokter muslim bahwa hal itu berkhasiat untuk menyembuhkan penyakitnya, dan tidak ada barang lain yang suci yang dapat menggantikan fungsinya. Sedangkan jika dokter mengatakan bahwa cara itu menjanjikan kesembuhan yang lebih cepat, maka dalam hal ini ada dua pendapat: ada yang membolehkan dan ada yang tidak.

Demikianlah, semoga penjelasan ini bermanfaat bagi Anda. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar