Tentang berMadzhab
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Saya dalam kesulitan mengenai madzhab yang ada 4 yang diakui di indonesia.?
1. Apakah hukumnya bermadzhab
2. Bagaimanakah kita tidak bermadzhab padahal dalam implikasi kehidupan
sehari-hari pasti menggunakannya
3. dan bagaimanakah memperadukan madzhab dalam menggunakannya
4. dan bagaimanakah apabila kita menggunakan semua madzhab dengan
mempertimbangkan akal pikirannya sebelumnya saya ucapkan banyak terimakasih
Jawab :
Assalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
Mazhab artinya jalan. Dalam masalah agama sering disebut aliran. Sebenarnya banyak sekali aliran dan mazhab yang dikenal dalam sejarah Islam. Sejak masa sahabat dan munculnya perbedaan pendapat dalam masalah cabang agama, setiap pendapat lalu disebut dengan istilah mazhab, maka di sana terkenal mazhab Aisyah, mazhab Adbullah bin Umar, mazhab Abdullah bin Masud dll.
Sampai sekitar pertengahan abad keempat, ada sekitar 13 mazhab terkenal yang pendapat mereka dikodifikasikan oleh para pengikut mereka, termasuk di dalamnya mazhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Selanjutnya mazhab empat tersebut yang yang paling populer di kalangan umat Islam sunni serta mendapatkan perhatian intelektual yang sangat besar dari para pengikutnya.
Mazhab selain mazhab empat yang juga cukup populer dan benyak pengikutnya adalah Dawud al-Zahiri, Zainul Abidin (dari syiah), Ja'far Shadiq dan Jabir bin Zaid (Ibadliyah)
Sebenarnya tidak ada keharusan bermazhab dalam agama, demikian juga tidak ada keharusan mengikuti mazhab empat. Yang menjadi kewajiban adalah mengikuti al-Qur'an dan Sunnah dan dalil-dalil lainnya secara benar.
Bagi orang awam bermazhab adalah semata untuk memudahkan mereka mengikuti ajaran agama, sebab mereka tidak perlu lagi mencari setiap permasalahan dari sumber aslinya yaitu al-Qur'an, hadist, Ijma' dll., namun mereka cukup membaca ringkasan tata cara beribadah dari mazhab-mazhab tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya beragama bagi orang awam, bila harus mempelajari semua ajaran agamanya melalui al-Qur'an dan Hadist. Betapa beratnya beragama bila semua orang harus berijtihad.
Pada zaman sekarang ini, pengaruh mazhab ini sedemikian populer dan kuat di kalangan umat Islam, sehingga tidak satu komunitas pun yang sebenarnya bebas mazhab. Ini karena agama yang dianut oleh komunitas tertentu sudah pasti diambil atau dipengaruhi oleh salah satu mazhab yang ada. Contohnya dalam masyarakat kita Indonesia, meskipun ada yang mengklaim tidak menggunakan mazhab, namun dalam praktiknya tetap saja secara ritual dan tata cara beribadah masyarakat kita cenderung mengikuti mazhab syafi'i, karena melalui mazhab inilah masyarakat Indonesia mengenal Islam. Masyarakat Saudi Arabia juga demikian, meskipun diklaim tidak bermazhab, namun praktiknya mereka menerapkan mazhab Hanbali, karena masyarakatnya mengenal Islam melalui mazhab Hanbali.
Dalam ilmu usuhul fiqh, terdapat istilah penting yang berkaitan dengan masalah bermadzhab, yaitu ijtihad, taqlid dan talfiq.
1. Ijtihad
Ijtihad didefinisikan sebagai "upaya untuk menemukan hukum-hukum shariah (agama). Untuk bisa mencapai taraf ijtihad, para ulama membuat beberapa persyaratan, yaitu :
1. Mengetahui arti ayat-ayat al-qur'an, baik dari segi bahasa maupun hukum.
2. Mengetahui hadist-hadist hukum, dan mengetahui maksudnya dari segi bahasa maupun hukum.
3. Mengetahui masalah nasikh dan mansukh (abrogasi dalam hukum qur'an dan hadist)
4. Mengetahui permasalahan-permasalahan yang telah terjadi konsensus para ulama mengenai hukumnya.
5. Mengetahui masalah analogi hukum Islam.
6. mengetahui bahasa Arab.
7. Mengetahui methodologi pengambilan hukum islam.
8. Mengetahui maqasid shariah (filsafat hukum Islam).
Itjihad dalam masalah-masalah agama senantiasa terbuka sampai kapan pun. Memang sering kita dengar isu bahwa pintu ijtihad telah tertutup, tapi kalau mau kita sadari, itu adalah isu yang menyesatkan, karena menutup pintu ijtihad sama saja dengan melarang orang berfikir. Agama Islam adalah agama yang mengajak kebebasan berfikir dengan logika yang benar. Imam Baghawi pernah mengatakan bahwa mencari ilmu untuk bisa mencapai tingkat ijtihad hukumnya fardlu kifayah. Bila dalam satu masa, tidak ada orang yang mau mencari ilmu untuk meraih tingkat ijtihad maka, berdosalah seluruh umat Islam yang hidup pada saat itu.
Mencari solusi hukum islam untuk permasalahan-permasalahan baru di zaman sekarang juga termasuk ijtihad.
Ijtihad dibuka dalam segala bidang, termasuk dalam masalah-masalah ritual dan fiqh. Hanya yang perlu diketahui di sini adalah ijtihad dengan cara, metodologi dan etika yang benar, sesuai dengan dalil-dalil yang ada.
2. Taqlid
Taqlid adalah mengambil pendapat ulama dengan tanpa mengetahui dalilnya. Mengambil satu hukum dengan referensi empat madzhab atau lainnya dengan tanpa mempelajari dalilnya, termasuk taqlid. Taqlid boleh dilakukan oleh orang yang pengetahuan agamanya terbatas, sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk bisa mengakses dalil-dalil yang ada. Taqlid boleh dilakukan hanya kepada ulama-ulama yang benar-benar mengetahui ilmu-ilmu agama dan taqlid yang terbaik adalah dengan disertai memperlajari dlail-dalil dari pendapat yang diikutinya. Taqlid buta, meskipun ia tahu itu bertentangan dengan dalil yang ia ketahui, atau taqlid dengan fanatik, sehingga merasa benar seindiri, sangat dicela dalam agama.
Bidang yang diperbolehkan taqlid, menurut sebagian besar ulama, secara teoritis, adalah furu' (cabang-cabang fiqh), sedangkah masalah tauhid (keyakinan) tidak boleh taqlid. Namun kalau dikaji secara empiris, tentu sulit untuk menerapkan ketentuan seperti itu. Masyarakat yang pengetahuannya terbatas dalam bidang apapun, pasti akan cenderung melakukan taqlid.
Bertaqlid kepada salah satu dari empat madzhab fiqh merupakan tindakan terpuji , karena muqallid (orang yang melakukan taqlid) tentu telah berkeyakinan bahwa madzhab yang dianutnya adalah yang terbaik bagi dirinya, artinya dari pertimbangan memperkecil keraguannya. Namun fanatik dengan madzhab yang dianutnya merupakan perbuatan tercela, karena ini berarti menganggap madzhab lain salah. Muqallid harus tetap berkeyakinan bahwa di sana ada pendapat lain yang mungkin layak juga untuk dipakai.
Keuntungan dari menggunakan satu madzhab adalah dari aspek simplifikasi pengajaran. Orang awam tentu akan lebih mudah belajar dan diajari dengan pendekatan satu madzhab, karena ini tidak membingungkan. Kerugiannya, antara
lain: terkadang taqlid dengan satu madzhab bisa merangsang fanatisme madzhab, apalagi pada kalangan awam yang tidak diberi wawasan agama yang baik. Terkadang taqlid kepada satu madzhab juga memperberat penerapan hukum,
aplagi bila kondisi tidak memungkinkan.
Sebagian besar ulama berpendapat tidak ada ketentuan yang mewajibkan bertaqlid kepada satu imam saja, namun boleh kepada imam lain yang diyakininya benar. Pendapat ini juga dipakai oleh para ulama terkemuka saat ini, karena menghembuskan nafas keterbukaan dalam menerapkan hukum agama.
3. Talfiq
Permasalahan taqlid yang telah mengundang polemik ulama dari rentang waktu yang cukup panjang, pada sekitar abad ke-10 hijriyah telah mengantarkan kepada gagasan pembatasan taqlid, yaitu dengan konsep talfiq. Mereka mengatakan bahwa taqlid sah apabila tidak mengantarkan kepada talfiq. Talfiq didefinisikan : mencetuskan hukum dengan mengkombinasikan berbagai madzhab, sehingga hukum tersebut menjadi sama sekali baru, tidak ada seorang ulama pun yang mengatakannya. Mencampur-campur madzhab dengan sengaja dan mencetuskan hukum baru yang sama sekali tidak ada dalilnya, itulah yang lebih tepat disebut talfiq yang dicela agama. Adapun berpindah madzhab dalam satu masalah agama dengan berlandasan kepada dalil atau karena kondisi tertentu, tidak lah termasuk talfiq.
Dalam menggunakan pendapat madzhab yang berbeda-beda yang perlu diperhatikan adalah sbb :
1. Tidak dengan sengaja mencari-cari yang mudah (sengaja mencari enaknya) dengan tujuan mempermainkan agama, apalagi yang mengantarkan kapada hukum baru yang sama sekali tidak dikatakan oleh salah seorang ulama. Misalnya mengambil pendapat yang mengatakan boleh nikah tanpa wali, kemudian mengambil pendapat kedua yang mengatakan boleh nikah tanpa saksi, kemudian mengambil pendapat ketiga yang mengatakan sah nikah tanpa mahar, lalu mencetuskan pendapat "boleh nikah tanpa wali, saksi dan mahar". Pendapat ini tidak ada seorang pun ulama yang mengatakannya.
2. Tidak mengantarkan kepada pendapat baru yang sama sekali bertentangan dengan dalil.Saya dalam kesulitan mengenai madzhab yang ada 4 yang diakui di indonesia.?
1. Apakah hukumnya bermadzhab
2. Bagaimanakah kita tidak bermadzhab padahal dalam implikasi kehidupan
sehari-hari pasti menggunakannya
3. dan bagaimanakah memperadukan madzhab dalam menggunakannya
4. dan bagaimanakah apabila kita menggunakan semua madzhab dengan
mempertimbangkan akal pikirannya sebelumnya saya ucapkan banyak terimakasih
Jawab :
Assalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
Mazhab artinya jalan. Dalam masalah agama sering disebut aliran. Sebenarnya banyak sekali aliran dan mazhab yang dikenal dalam sejarah Islam. Sejak masa sahabat dan munculnya perbedaan pendapat dalam masalah cabang agama, setiap pendapat lalu disebut dengan istilah mazhab, maka di sana terkenal mazhab Aisyah, mazhab Adbullah bin Umar, mazhab Abdullah bin Masud dll.
Sampai sekitar pertengahan abad keempat, ada sekitar 13 mazhab terkenal yang pendapat mereka dikodifikasikan oleh para pengikut mereka, termasuk di dalamnya mazhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Selanjutnya mazhab empat tersebut yang yang paling populer di kalangan umat Islam sunni serta mendapatkan perhatian intelektual yang sangat besar dari para pengikutnya.
Mazhab selain mazhab empat yang juga cukup populer dan benyak pengikutnya adalah Dawud al-Zahiri, Zainul Abidin (dari syiah), Ja'far Shadiq dan Jabir bin Zaid (Ibadliyah)
Sebenarnya tidak ada keharusan bermazhab dalam agama, demikian juga tidak ada keharusan mengikuti mazhab empat. Yang menjadi kewajiban adalah mengikuti al-Qur'an dan Sunnah dan dalil-dalil lainnya secara benar.
Bagi orang awam bermazhab adalah semata untuk memudahkan mereka mengikuti ajaran agama, sebab mereka tidak perlu lagi mencari setiap permasalahan dari sumber aslinya yaitu al-Qur'an, hadist, Ijma' dll., namun mereka cukup membaca ringkasan tata cara beribadah dari mazhab-mazhab tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya beragama bagi orang awam, bila harus mempelajari semua ajaran agamanya melalui al-Qur'an dan Hadist. Betapa beratnya beragama bila semua orang harus berijtihad.
Pada zaman sekarang ini, pengaruh mazhab ini sedemikian populer dan kuat di kalangan umat Islam, sehingga tidak satu komunitas pun yang sebenarnya bebas mazhab. Ini karena agama yang dianut oleh komunitas tertentu sudah pasti diambil atau dipengaruhi oleh salah satu mazhab yang ada. Contohnya dalam masyarakat kita Indonesia, meskipun ada yang mengklaim tidak menggunakan mazhab, namun dalam praktiknya tetap saja secara ritual dan tata cara beribadah masyarakat kita cenderung mengikuti mazhab syafi'i, karena melalui mazhab inilah masyarakat Indonesia mengenal Islam. Masyarakat Saudi Arabia juga demikian, meskipun diklaim tidak bermazhab, namun praktiknya mereka menerapkan mazhab Hanbali, karena masyarakatnya mengenal Islam melalui mazhab Hanbali.
Dalam ilmu usuhul fiqh, terdapat istilah penting yang berkaitan dengan masalah bermadzhab, yaitu ijtihad, taqlid dan talfiq.
1. Ijtihad
Ijtihad didefinisikan sebagai "upaya untuk menemukan hukum-hukum shariah (agama). Untuk bisa mencapai taraf ijtihad, para ulama membuat beberapa persyaratan, yaitu :
1. Mengetahui arti ayat-ayat al-qur'an, baik dari segi bahasa maupun hukum.
2. Mengetahui hadist-hadist hukum, dan mengetahui maksudnya dari segi bahasa maupun hukum.
3. Mengetahui masalah nasikh dan mansukh (abrogasi dalam hukum qur'an dan hadist)
4. Mengetahui permasalahan-permasalahan yang telah terjadi konsensus para ulama mengenai hukumnya.
5. Mengetahui masalah analogi hukum Islam.
6. mengetahui bahasa Arab.
7. Mengetahui methodologi pengambilan hukum islam.
8. Mengetahui maqasid shariah (filsafat hukum Islam).
Itjihad dalam masalah-masalah agama senantiasa terbuka sampai kapan pun. Memang sering kita dengar isu bahwa pintu ijtihad telah tertutup, tapi kalau mau kita sadari, itu adalah isu yang menyesatkan, karena menutup pintu ijtihad sama saja dengan melarang orang berfikir. Agama Islam adalah agama yang mengajak kebebasan berfikir dengan logika yang benar. Imam Baghawi pernah mengatakan bahwa mencari ilmu untuk bisa mencapai tingkat ijtihad hukumnya fardlu kifayah. Bila dalam satu masa, tidak ada orang yang mau mencari ilmu untuk meraih tingkat ijtihad maka, berdosalah seluruh umat Islam yang hidup pada saat itu.
Mencari solusi hukum islam untuk permasalahan-permasalahan baru di zaman sekarang juga termasuk ijtihad.
Ijtihad dibuka dalam segala bidang, termasuk dalam masalah-masalah ritual dan fiqh. Hanya yang perlu diketahui di sini adalah ijtihad dengan cara, metodologi dan etika yang benar, sesuai dengan dalil-dalil yang ada.
2. Taqlid
Taqlid adalah mengambil pendapat ulama dengan tanpa mengetahui dalilnya. Mengambil satu hukum dengan referensi empat madzhab atau lainnya dengan tanpa mempelajari dalilnya, termasuk taqlid. Taqlid boleh dilakukan oleh orang yang pengetahuan agamanya terbatas, sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk bisa mengakses dalil-dalil yang ada. Taqlid boleh dilakukan hanya kepada ulama-ulama yang benar-benar mengetahui ilmu-ilmu agama dan taqlid yang terbaik adalah dengan disertai memperlajari dlail-dalil dari pendapat yang diikutinya. Taqlid buta, meskipun ia tahu itu bertentangan dengan dalil yang ia ketahui, atau taqlid dengan fanatik, sehingga merasa benar seindiri, sangat dicela dalam agama.
Bidang yang diperbolehkan taqlid, menurut sebagian besar ulama, secara teoritis, adalah furu' (cabang-cabang fiqh), sedangkah masalah tauhid (keyakinan) tidak boleh taqlid. Namun kalau dikaji secara empiris, tentu sulit untuk menerapkan ketentuan seperti itu. Masyarakat yang pengetahuannya terbatas dalam bidang apapun, pasti akan cenderung melakukan taqlid.
Bertaqlid kepada salah satu dari empat madzhab fiqh merupakan tindakan terpuji , karena muqallid (orang yang melakukan taqlid) tentu telah berkeyakinan bahwa madzhab yang dianutnya adalah yang terbaik bagi dirinya, artinya dari pertimbangan memperkecil keraguannya. Namun fanatik dengan madzhab yang dianutnya merupakan perbuatan tercela, karena ini berarti menganggap madzhab lain salah. Muqallid harus tetap berkeyakinan bahwa di sana ada pendapat lain yang mungkin layak juga untuk dipakai.
Keuntungan dari menggunakan satu madzhab adalah dari aspek simplifikasi pengajaran. Orang awam tentu akan lebih mudah belajar dan diajari dengan pendekatan satu madzhab, karena ini tidak membingungkan. Kerugiannya, antara
lain: terkadang taqlid dengan satu madzhab bisa merangsang fanatisme madzhab, apalagi pada kalangan awam yang tidak diberi wawasan agama yang baik. Terkadang taqlid kepada satu madzhab juga memperberat penerapan hukum,
aplagi bila kondisi tidak memungkinkan.
Sebagian besar ulama berpendapat tidak ada ketentuan yang mewajibkan bertaqlid kepada satu imam saja, namun boleh kepada imam lain yang diyakininya benar. Pendapat ini juga dipakai oleh para ulama terkemuka saat ini, karena menghembuskan nafas keterbukaan dalam menerapkan hukum agama.
3. Talfiq
Permasalahan taqlid yang telah mengundang polemik ulama dari rentang waktu yang cukup panjang, pada sekitar abad ke-10 hijriyah telah mengantarkan kepada gagasan pembatasan taqlid, yaitu dengan konsep talfiq. Mereka mengatakan bahwa taqlid sah apabila tidak mengantarkan kepada talfiq. Talfiq didefinisikan : mencetuskan hukum dengan mengkombinasikan berbagai madzhab, sehingga hukum tersebut menjadi sama sekali baru, tidak ada seorang ulama pun yang mengatakannya. Mencampur-campur madzhab dengan sengaja dan mencetuskan hukum baru yang sama sekali tidak ada dalilnya, itulah yang lebih tepat disebut talfiq yang dicela agama. Adapun berpindah madzhab dalam satu masalah agama dengan berlandasan kepada dalil atau karena kondisi tertentu, tidak lah termasuk talfiq.
Dalam menggunakan pendapat madzhab yang berbeda-beda yang perlu diperhatikan adalah sbb :
1. Tidak dengan sengaja mencari-cari yang mudah (sengaja mencari enaknya) dengan tujuan mempermainkan agama, apalagi yang mengantarkan kapada hukum baru yang sama sekali tidak dikatakan oleh salah seorang ulama. Misalnya mengambil pendapat yang mengatakan boleh nikah tanpa wali, kemudian mengambil pendapat kedua yang mengatakan boleh nikah tanpa saksi, kemudian mengambil pendapat ketiga yang mengatakan sah nikah tanpa mahar, lalu mencetuskan pendapat "boleh nikah tanpa wali, saksi dan mahar". Pendapat ini tidak ada seorang pun ulama yang mengatakannya.
3. Tidak memaksakan diri menggunakan pendapat yang telah diketahui atau diyakini kelemahnya.
4. Tidak boleh dalam satu ibadah, misalnya dalam wudlu mengambil mazhab Syafi'i dalam mengusap sebagain kepala, kemudian mengikuti mazhab Hanafi dalam masalah tidak batal memegang kemaluan, padahal tanpa mengetahui dalil masing-masing dan hanya bermazhab buta atau taqlid.
Demikian, semoga membantu
Bersentuhan Kulit Antara Suami Istri, Apakah Membatalkan Wudlu?
Tanya:
Pak saya mau tanya tentang hukumnya bersentuhan kulit antara suami & istri, apakah itu membatalkan wudhu kami apa tidak mohon dijelaskan kalau ada beserta dalilnya (Al Qur'an & Hadist) demikian saya sampaikan, terimakasih atas perhatiannya
Jojo
Surabaya
Jawab:
Saudara Eko Budiharjo (mas Jojo) yang baik, pertanyaan anda tentang hukum bersentuhan kulit antara suami-istri "apakah membatalkan wudhu atau tidak", ada beberapa pendapat fuqaha (ulama ahli fiqh) dalam masalah ini.
Sebelumnya perlu anda ketahui, bahwa hukum ini umum, tidak terbatas terhadap istri saja, akan tetapi mencakup seluruh wanita yang halal dinikahi, termasuk istri anda sendiri.
Pertama, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram (halal untuk dinikahi) tidak membatalkan wudhu, baik persentuhan kedua kulit itu didorong oleh syahwat atau tidak, dengan alasan bahwa firman Allah dalam surah al-Nisa' ayat 42 yang artinya : "atau ketika kamu menyentuh wanita (maka wajib bersuci)" mengandung arti khusus, yaitu bukannya semata-mata bersentuhan kulit, melainkan jima' (bersenggama). Oleh karena itu tidak batal kalau terjadi persentuhan kulit saja, dan batal kalau terjadi jima'.
Dan beliau juga menggunakan dalil hadis dari Aisyah ra. : "bahwa Nabi saw. pernah mencium para istrinya, kemudian beliau langsung salat tanpa berwudhu terlebih dahulu. Diriwayatkan juga bahwa Nabi saw. telah melakukan salat di dalam rumah Aisyah yang sempit, pada waktu itu Aisyah berbaring di dekat beliau. Ketika Nabi sujud tersentuhlah kaki Aisyah.
Pendapat yang kedua adalah pendapat Imam Syafi'i yang mengatakan bahwa persentuhan dua kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram akan membatalkan wudhu secara mutlak, baik persentuhan itu disertai syahwat atau tidak. Menurut Imam Syafi'i ayat 42 surat al-Nisa' itu tidak berarti "menyentuh" dengan arti bersenggama (jima'). Kesimpulannya, persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tanpa ada penghalang akan membatalkan wudhu, baik disertai syahwat atau tidak.
Dan pendapat yang terakhir adalah pendapat Imam Malik yang mengatakan bahwa persentuhan dua kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak membatalkan wudhu selama itu tidak disertai syahwat.
Sekarang tinggal Anda menyesuaikan sendiri, dengan pendapat mana merasa lebih cocok. Ketiga-tiganya sama-sama mempunyai dasar, baik Qur'an dan hadis. AKAN TETAPI PARA ULAMA SEPAKAT KALAU TALFIQ ITU HARAM (mencampur adukan pendapat 4 madzhab).
Demikian jawaban singkat dari kami semoga memuaskan anda.
Wallaahu a'lam.
Pak saya mau tanya tentang hukumnya bersentuhan kulit antara suami & istri, apakah itu membatalkan wudhu kami apa tidak mohon dijelaskan kalau ada beserta dalilnya (Al Qur'an & Hadist) demikian saya sampaikan, terimakasih atas perhatiannya
Jojo
Surabaya
Jawab:
Saudara Eko Budiharjo (mas Jojo) yang baik, pertanyaan anda tentang hukum bersentuhan kulit antara suami-istri "apakah membatalkan wudhu atau tidak", ada beberapa pendapat fuqaha (ulama ahli fiqh) dalam masalah ini.
Sebelumnya perlu anda ketahui, bahwa hukum ini umum, tidak terbatas terhadap istri saja, akan tetapi mencakup seluruh wanita yang halal dinikahi, termasuk istri anda sendiri.
Pertama, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram (halal untuk dinikahi) tidak membatalkan wudhu, baik persentuhan kedua kulit itu didorong oleh syahwat atau tidak, dengan alasan bahwa firman Allah dalam surah al-Nisa' ayat 42 yang artinya : "atau ketika kamu menyentuh wanita (maka wajib bersuci)" mengandung arti khusus, yaitu bukannya semata-mata bersentuhan kulit, melainkan jima' (bersenggama). Oleh karena itu tidak batal kalau terjadi persentuhan kulit saja, dan batal kalau terjadi jima'.
Dan beliau juga menggunakan dalil hadis dari Aisyah ra. : "bahwa Nabi saw. pernah mencium para istrinya, kemudian beliau langsung salat tanpa berwudhu terlebih dahulu. Diriwayatkan juga bahwa Nabi saw. telah melakukan salat di dalam rumah Aisyah yang sempit, pada waktu itu Aisyah berbaring di dekat beliau. Ketika Nabi sujud tersentuhlah kaki Aisyah.
Pendapat yang kedua adalah pendapat Imam Syafi'i yang mengatakan bahwa persentuhan dua kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram akan membatalkan wudhu secara mutlak, baik persentuhan itu disertai syahwat atau tidak. Menurut Imam Syafi'i ayat 42 surat al-Nisa' itu tidak berarti "menyentuh" dengan arti bersenggama (jima'). Kesimpulannya, persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tanpa ada penghalang akan membatalkan wudhu, baik disertai syahwat atau tidak.
Dan pendapat yang terakhir adalah pendapat Imam Malik yang mengatakan bahwa persentuhan dua kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak membatalkan wudhu selama itu tidak disertai syahwat.
Sekarang tinggal Anda menyesuaikan sendiri, dengan pendapat mana merasa lebih cocok. Ketiga-tiganya sama-sama mempunyai dasar, baik Qur'an dan hadis. AKAN TETAPI PARA ULAMA SEPAKAT KALAU TALFIQ ITU HARAM (mencampur adukan pendapat 4 madzhab).
Demikian jawaban singkat dari kami semoga memuaskan anda.
Wallaahu a'lam.
Bekerja Dengan Makhluk Lain (Jin)
Tanya:
Nama saya Syaiful Bahri dari Salatiga. Apa hukumnya bekerja sama dengan makhluk lain di luar manusia (jin/iblis). Seperti halnya ilmu kesaktian. yang kebetulan banyak terdapat di daerah saya. Mohon penjelasan penjelasannya.
Terimakasih sebelumnya.
Syaiful
Salatiga
Jawab:
Saudara Syaiful Bahri yang baik, mengenai jin dan iblis (syetan), jenis yang kedua ini sudah dimaklumi bersama bahwa al-Qur'an dan hadis sarat dengan pengutukan terhadap makhluk syetan atau iblis ini. Iblis dan syetan adalah musuh bebuyutan umat manusia sejak sebelum penciptaan manusia itu sendiri. Itu sesuai ikrar iblis sendiri, untuk selalu menghalang-halangi umat manusia dari jalan yang lurus. Lihat misalnya dialog Tuhan dengan iblis pada QS. 7. al-A'raf ayat 11-27. Ayat-ayat itu tiada lain hanya menandaskan tertutupnya peluang kerjasama dalam bentuk apa saja dan bidang apa saja dengan makhluk iblis atau syetan.
Adapun mengenai jin, saudara perlu merujuk QS 72. al-Jin ayat 1-19. Pada ayat-ayat itu terdapat keterangan lebih lengkap mengenai apa yang saudara tanyakan. Mulai dari bahwa jin itu adalah makluk yang memeluk islam sebagai agama seperti umat manusia. Diantara mereka ada yang saleh, komitmen dengan ajaran Islam ada juga yang sesat dan kafir. Mengenai kemungkinan mengadakan kerja sama dengan mkhluk jin, saudara sebaiknya merujuk pada QS 5. al-Maidah ayat 2 yang menyebutkan secara eksplisit perlunya tolong menolong dalam hal-hal kebaikan dan tidak saling menolong dalam hal kejahatan. Ayat 2 surah al-Maidah tadi tentu suatu aturan yang berlaku pada umat islam yang mencakup jin dan manusia. Kendati demikian -seperti yang tadi kami singgung makhluk jin ada yang saleh dan komitmen dengan ajaran Islam ada juga kafir seperti halnya umat manusia. Kalau sekiranya kita sudah meyakini bahwa jin yang kita ajak kerjasama adalah jin yang patuh pada ajaran maka perlu lagi melihat bentuk dan fisik bantuan itu. Katakanlah misalnya ilmu kesaktian. Maksud kami apakah kesaktian itu betul-betul bersumber dari ajaran Islam murni. Sebagai contoh, jin itu mengajarkan kesaktian dengan bacaan-bacaan al-Qur'an maka itu suatu kebolehan seperti halnya Nabi menganjurkan untuk selalu membaca al-Qur'an agar terhindar dari segala bentuk cobaan. Islam sendiri menghimbau agar selalu membaca surah al-Falaq dan surah al-Nas ketika mau tidur.
Wallahu a'lam bissawab.
Nama saya Syaiful Bahri dari Salatiga. Apa hukumnya bekerja sama dengan makhluk lain di luar manusia (jin/iblis). Seperti halnya ilmu kesaktian. yang kebetulan banyak terdapat di daerah saya. Mohon penjelasan penjelasannya.
Terimakasih sebelumnya.
Syaiful
Salatiga
Jawab:
Saudara Syaiful Bahri yang baik, mengenai jin dan iblis (syetan), jenis yang kedua ini sudah dimaklumi bersama bahwa al-Qur'an dan hadis sarat dengan pengutukan terhadap makhluk syetan atau iblis ini. Iblis dan syetan adalah musuh bebuyutan umat manusia sejak sebelum penciptaan manusia itu sendiri. Itu sesuai ikrar iblis sendiri, untuk selalu menghalang-halangi umat manusia dari jalan yang lurus. Lihat misalnya dialog Tuhan dengan iblis pada QS. 7. al-A'raf ayat 11-27. Ayat-ayat itu tiada lain hanya menandaskan tertutupnya peluang kerjasama dalam bentuk apa saja dan bidang apa saja dengan makhluk iblis atau syetan.
Adapun mengenai jin, saudara perlu merujuk QS 72. al-Jin ayat 1-19. Pada ayat-ayat itu terdapat keterangan lebih lengkap mengenai apa yang saudara tanyakan. Mulai dari bahwa jin itu adalah makluk yang memeluk islam sebagai agama seperti umat manusia. Diantara mereka ada yang saleh, komitmen dengan ajaran Islam ada juga yang sesat dan kafir. Mengenai kemungkinan mengadakan kerja sama dengan mkhluk jin, saudara sebaiknya merujuk pada QS 5. al-Maidah ayat 2 yang menyebutkan secara eksplisit perlunya tolong menolong dalam hal-hal kebaikan dan tidak saling menolong dalam hal kejahatan. Ayat 2 surah al-Maidah tadi tentu suatu aturan yang berlaku pada umat islam yang mencakup jin dan manusia. Kendati demikian -seperti yang tadi kami singgung makhluk jin ada yang saleh dan komitmen dengan ajaran Islam ada juga kafir seperti halnya umat manusia. Kalau sekiranya kita sudah meyakini bahwa jin yang kita ajak kerjasama adalah jin yang patuh pada ajaran maka perlu lagi melihat bentuk dan fisik bantuan itu. Katakanlah misalnya ilmu kesaktian. Maksud kami apakah kesaktian itu betul-betul bersumber dari ajaran Islam murni. Sebagai contoh, jin itu mengajarkan kesaktian dengan bacaan-bacaan al-Qur'an maka itu suatu kebolehan seperti halnya Nabi menganjurkan untuk selalu membaca al-Qur'an agar terhindar dari segala bentuk cobaan. Islam sendiri menghimbau agar selalu membaca surah al-Falaq dan surah al-Nas ketika mau tidur.
Wallahu a'lam bissawab.
Wallahu A’lam
Batalnya puasa
Menurut Madzhab Syafi'i keluar madzi karena sentuhan, ciuman atau cumbuan, membatalkan puasa atau tidak ?.
- Ada kasus begini: dengan asumsi keluar madzi tidak membatalkan puasa. Ada orang yang bercumbu, lalu keluar madzi, bukan mani, tapi dia tidak tahu kalau keluar madzi itu tidak membatalkan puasa. Daripada berada dalam keragu-raguan, orang itu membatalkan puasanya dengan onani, bagaimana hukumnya?
Harap dijawab secepatnya, terima kasih.
Jawab:
Jawab:
- Menurut Syafi'iyah, keluarnya madzi sebab hal-hal yang Anda sebutkan itu tidak membatalkan puasa. Demikian juga menurut Hanafiyah. Lain lagi menurut Malikiyah dan Hanbaliyah, hal seperti itu membatalkan puasa. Makanya, sebaiknya hal ini perlu kita hindari. Ciuman itu sendiri makruh hukumnya saat berpuasa, apalagi bila teriringi dengan syahwat sampai keluar madzi. Dua madzhab terakhir, Malikiyah dan Hanbaliyah, menurut saya lebih tepat karena pada dasarnya puasa itu ditujukan untuk menahan nafsu, nafsu apa saja.
- Hukumnya ya jelas batal puasanya, karena onani yg dilakukannya.
Wallahu A’lam
Antara Ibu Kandung dan Mertua
Tanya:
Assalamualaikum wr wb
Disini saya mau menanyakan perihal:
Saya seorang lelaki, istri saya orang Jakarta dan sekarang saya juga tinggal di Jakarta bersama anak dan istri, sementara saya menikah sudah tiga tahun lebih dan selama ini saya selalu pulang kekampung halaman (Jateng) setiap hari raya iedul fitri, istilahnya lebaran di kampung. Hal ini saya laksanakan karena, menurut saya sudah menjadi kewajiban seorang anak lelaki meminta maaf ke orang tua pertama kali selanjutnya ke mertua (ibu istri saya) dan si istri harus selalu mengikuti suami.
Pertanyaan saya:
Apakah tindakan saya sebagai suami itu betul, karena harus pulang ke ibu saya dulu walaupun jauh tempatnya, kemudian baru ketempat mertua?
Demikian pertanyan saya, saya mohon balasan secepatnya
Terimakasih
Wassalamualaikum wr wb
Jawab:
Saudara Nizar,
Pijakan berfikir Anda sudah betul bahwa Islam mengajarkan untuk menghormati orang tua yang melahirkan kita begitu pula sang istri juga menghormati suami. Dan hal ini sering diajarkan dalam etika keislaman mengenai (birrul walidain) dan suami adalah pemimpin keluarga.
Di sisi lain, Islam juga mengajarkan keluwesan untuk saling bersilaturrahmi dengan baik. Tindakan yang sudah benar juga memerlukan keluwesan agar tidak menimbulkan kesan yang negatif di pihak yang lain seperti pihak mertua Anda. Kalau memang ibu Anda merelakan Anda untuk sesekali berlebaran di Mertua Anda. Berarti lepas sudah keharusan Anda untuk bersua pada hari lebaran dan Anda bisa menempatkan birrul walidain (berbakti pada orang tua) pada aspek yang lain.
Akhirnya Anda pun bisa melaksanakan anjuran bersilaturrahmi ke kerabat yang lain yaitu mertua Anda. Tanpa terlepas dari kewajiban berbakti Anda terhadap orang tua.
Lebih baik berkomunikasi terlebih dahulu dengan ibu kandung Anda hingga Anda mengerti apakah ibu kandung Anda berkenan atas tindakan Anda kali ini yaitu rencana bersilaturrahmi kepada mertua dulu.
Semoga Allah swt. memberikan pahala atas tindakan Anda bersilaturahmi tanpa mengenyapingkan birrul walidain Anda. Amin. Selamat berpuasa Ramadhan.
Terimakasih
Assalamualaikum wr wb
Disini saya mau menanyakan perihal:
Saya seorang lelaki, istri saya orang Jakarta dan sekarang saya juga tinggal di Jakarta bersama anak dan istri, sementara saya menikah sudah tiga tahun lebih dan selama ini saya selalu pulang kekampung halaman (Jateng) setiap hari raya iedul fitri, istilahnya lebaran di kampung. Hal ini saya laksanakan karena, menurut saya sudah menjadi kewajiban seorang anak lelaki meminta maaf ke orang tua pertama kali selanjutnya ke mertua (ibu istri saya) dan si istri harus selalu mengikuti suami.
Pertanyaan saya:
Apakah tindakan saya sebagai suami itu betul, karena harus pulang ke ibu saya dulu walaupun jauh tempatnya, kemudian baru ketempat mertua?
Demikian pertanyan saya, saya mohon balasan secepatnya
Terimakasih
Wassalamualaikum wr wb
Jawab:
Saudara Nizar,
Pijakan berfikir Anda sudah betul bahwa Islam mengajarkan untuk menghormati orang tua yang melahirkan kita begitu pula sang istri juga menghormati suami. Dan hal ini sering diajarkan dalam etika keislaman mengenai (birrul walidain) dan suami adalah pemimpin keluarga.
Di sisi lain, Islam juga mengajarkan keluwesan untuk saling bersilaturrahmi dengan baik. Tindakan yang sudah benar juga memerlukan keluwesan agar tidak menimbulkan kesan yang negatif di pihak yang lain seperti pihak mertua Anda. Kalau memang ibu Anda merelakan Anda untuk sesekali berlebaran di Mertua Anda. Berarti lepas sudah keharusan Anda untuk bersua pada hari lebaran dan Anda bisa menempatkan birrul walidain (berbakti pada orang tua) pada aspek yang lain.
Akhirnya Anda pun bisa melaksanakan anjuran bersilaturrahmi ke kerabat yang lain yaitu mertua Anda. Tanpa terlepas dari kewajiban berbakti Anda terhadap orang tua.
Lebih baik berkomunikasi terlebih dahulu dengan ibu kandung Anda hingga Anda mengerti apakah ibu kandung Anda berkenan atas tindakan Anda kali ini yaitu rencana bersilaturrahmi kepada mertua dulu.
Semoga Allah swt. memberikan pahala atas tindakan Anda bersilaturahmi tanpa mengenyapingkan birrul walidain Anda. Amin. Selamat berpuasa Ramadhan.
Terimakasih
Wallahu A’lam
Ajaran Islam Menghadapi Kelahiran Seorang Bayi
Tanya:
Saya ingin bertanya tentang kewajiban seorang calon orang tua yang Insya Allah akan mendapatkan seorang anak.
1. Sewaktu istri akan melahirkan, apa yang sebaiknya dilakukan oleh calon bapaknya?
2. Setelah anak lahir di dunia (dan Insya Allah istri & anaknya dalam keadaan selamat juga sehat wal'afiat), apa saja yang disunnahkan oleh Rasullulah?
Gaffar
Jawab:
Dalam menghadapi perubahan-perubahan kehidupan dunia yang demikian pesat, tidak hanya kita yang perlu mempersiapkan bekal mental-spiritual, agar tidak tergelincir dalam dosa dan kebutaan hati, lebih-lebih lagi adalah generasi yang lebih muda, yang akan menghadapi perubahan-perubahan yang lebih cepat lagi. Pendidikan, pengajaran dan praktek agama yang mengisi rohani dapat kita rasakan pentingnya. Untuk itu ajaran-ajaran Islam telah mempersiapkan berbagai perangkat, di antaranya adalah pendidikan dan praktek agama sejak bayi dilahirkan.
1. Seorang calon ayah atau ibu amat was-was menunggu kelahiran bayinya. Pada sat-saat seperti itu mereka berdoa sebagaimana Nabi Zakaria (Ali Imran 38) "Tuhanku, karuniakanlah kepadaku dari sisi-Mu keturunan yang baik. Sungguh Engkau Maha Mendengar permohonan."
2. Dan saat tiba waktunya sang bayi lahir, terurailah senyum tawa, menyaksikan sang bayi yang lucu, yang baru lahir dan ibu bayi yang selamat. Tak lupa diucapkan "alhamdulillah" sebagai rasa syukur ke hadirat Allah.
3. Sejak saat itu pendidikan dan praktek agama bagi sang bayi dimulai. Dengan penuh sigap sang ayah mengumandangkan azan di telinga kanan dan iqamah (qamat) di telinga kiri. Agar kalimat-kalimat tauhidlah yang pertama-tama ia dengar, sehingga pada akhir hayatnya kalimat kalimat itu pulalah yang akan ia dengar dan ia ucapkan.
4. Pada hari ketujuh sebagai ungkapan rasa syukur dan sebagai bekal bagi sang bayi dilaksanakan upacara "aqiqah". Ia merupakan kesaksian dari anggota masyarakat atas kehadirannya dan penerimaan mereka. Ia merupakan isyarat dan harapan bahwa sang bayi nantinya siap untuk berkorban dan memberi manfaat bagi masyarakatnya.
Upacara "aqiqah" sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw adalah:
"Kul-lu ghulâmin rahînatum bi 'aqîqatih, tudzbahu 'anhu yauma sâ-bi-'ih, wa yusam-mâ fîh, wa yuhlaqu ra’sah." (H.R.Lima)
Artinya:
"Setiap anak tergadai pada aqiqahnya, dilakukan dengan menyembelih (ternak) pada hari ke tujuh, diberikan namanya dan dipotong rambutnya."
Kata "aqiqah" berarti memotong, karena pada saat itu dipotong ternak untuk jamuan dan dipotong rambut sang bayi. Hukum melaksanakan "aqiqah" adalah sunnah muakkadah, atau sunnah yang kuat. Kata tergadai dalam hadits tadi diartikan oleh Imam Ahmad bin Hambal sebagai, "orangtua tidak mendapatkan syafaat dari anaknya sampai dilaksanakan "aqiqah" untuknya". Sehingga upacara "aqiqah" menurut para ulama dapat dilaksanakan sampai anak menjadi besar atau baligh.
Jumlah ternak yang dipotong, dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan seekor untuk anak perempuan. Kambing yang sudah berumur setahun, yang sehat, yang tidak cacat, dengan harapan agar sang anak sehat dan tidak cacat, dan diniatkan dipotong untuk kurban sang bayi. Daging kambing disunnahkan untuk dimasak dengan dicampur bumbu yang manis, dengan harapan sang anak tumbuh dengan akhlaq yang elok. Lalu dihidangkan kepada para undangan. Hanya bagian kakinya, disunnahkan untuk diberikan pada sang bidan yang ikut melahirkan sang anak.
Rambut sang bayi dipotong gundul dan disunnahkan untuk memberikan sedekah seberat timbangan rambut tadi dengan emas atau perak. Sang bayi juga diberi makanan yang manis, kurma yang dihaluskan, dengan harapan akan menjadi anak yang manis dan generasi penerus yang melaksanakan kebajikan.
5. Sang bayi juga diberi nama yang baik. Dalam sebuah hadits disebutkan:
"Min haq-qil waladi 'alal wâlid, ay-yuhsina adabahu wa yuhsinasmah"
"Merupakan sebagian dari hak seorang anak atas orangtuanya adalah mendidiknya dengan baik dan memberikan nama yang baik."
Perlu kami garis bawahi di sini tentang pemberian nama. Nama yang terbaik bagi seorang bayi laki-laki adalah Abdullah dan Abdurrahman. Setelah itu nama para rasul, nabi, malaikat, orang-orang yang salih dan yang memiliki arti yang baik. Semua itu dengan harapan bahwa sang bayi nantinya akan tumbuh dengan menjadikan namanya sebagai referensi. Kalau namanya Abdullah, maka ketika ia hendak berbuat tak baik, dan tak sengaja dipanggil, ia akan teringat peraturan-peraturan Allah, dan tak jadi berbuat aniaya. Dan begitulah seterusnya.
Pada masa ini, banyak orangtua yang melupakan kewajiban ini, yang merupakan hak dari sang anak. Diambilnya nama dengan tidak memakai referensi "shalih". Bahkan sebagian memberi nama anaknya mengikuti kemarahan hatinya. Maka tidaklah juga dapat disalahkan sang anak ketika besar bukan referensi "shalih" yang digunakan. Karena sang anak tidak mendapatkan haknya, maka lupalah ia akan kewajibannya. Pada akhirnya orangtualah yang kewalahan.
Wallahu A’lam
Saya ingin bertanya tentang kewajiban seorang calon orang tua yang Insya Allah akan mendapatkan seorang anak.
1. Sewaktu istri akan melahirkan, apa yang sebaiknya dilakukan oleh calon bapaknya?
2. Setelah anak lahir di dunia (dan Insya Allah istri & anaknya dalam keadaan selamat juga sehat wal'afiat), apa saja yang disunnahkan oleh Rasullulah?
Gaffar
Jawab:
Dalam menghadapi perubahan-perubahan kehidupan dunia yang demikian pesat, tidak hanya kita yang perlu mempersiapkan bekal mental-spiritual, agar tidak tergelincir dalam dosa dan kebutaan hati, lebih-lebih lagi adalah generasi yang lebih muda, yang akan menghadapi perubahan-perubahan yang lebih cepat lagi. Pendidikan, pengajaran dan praktek agama yang mengisi rohani dapat kita rasakan pentingnya. Untuk itu ajaran-ajaran Islam telah mempersiapkan berbagai perangkat, di antaranya adalah pendidikan dan praktek agama sejak bayi dilahirkan.
1. Seorang calon ayah atau ibu amat was-was menunggu kelahiran bayinya. Pada sat-saat seperti itu mereka berdoa sebagaimana Nabi Zakaria (Ali Imran 38) "Tuhanku, karuniakanlah kepadaku dari sisi-Mu keturunan yang baik. Sungguh Engkau Maha Mendengar permohonan."
2. Dan saat tiba waktunya sang bayi lahir, terurailah senyum tawa, menyaksikan sang bayi yang lucu, yang baru lahir dan ibu bayi yang selamat. Tak lupa diucapkan "alhamdulillah" sebagai rasa syukur ke hadirat Allah.
3. Sejak saat itu pendidikan dan praktek agama bagi sang bayi dimulai. Dengan penuh sigap sang ayah mengumandangkan azan di telinga kanan dan iqamah (qamat) di telinga kiri. Agar kalimat-kalimat tauhidlah yang pertama-tama ia dengar, sehingga pada akhir hayatnya kalimat kalimat itu pulalah yang akan ia dengar dan ia ucapkan.
4. Pada hari ketujuh sebagai ungkapan rasa syukur dan sebagai bekal bagi sang bayi dilaksanakan upacara "aqiqah". Ia merupakan kesaksian dari anggota masyarakat atas kehadirannya dan penerimaan mereka. Ia merupakan isyarat dan harapan bahwa sang bayi nantinya siap untuk berkorban dan memberi manfaat bagi masyarakatnya.
Upacara "aqiqah" sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw adalah:
"Kul-lu ghulâmin rahînatum bi 'aqîqatih, tudzbahu 'anhu yauma sâ-bi-'ih, wa yusam-mâ fîh, wa yuhlaqu ra’sah." (H.R.Lima)
Artinya:
"Setiap anak tergadai pada aqiqahnya, dilakukan dengan menyembelih (ternak) pada hari ke tujuh, diberikan namanya dan dipotong rambutnya."
Kata "aqiqah" berarti memotong, karena pada saat itu dipotong ternak untuk jamuan dan dipotong rambut sang bayi. Hukum melaksanakan "aqiqah" adalah sunnah muakkadah, atau sunnah yang kuat. Kata tergadai dalam hadits tadi diartikan oleh Imam Ahmad bin Hambal sebagai, "orangtua tidak mendapatkan syafaat dari anaknya sampai dilaksanakan "aqiqah" untuknya". Sehingga upacara "aqiqah" menurut para ulama dapat dilaksanakan sampai anak menjadi besar atau baligh.
Jumlah ternak yang dipotong, dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan seekor untuk anak perempuan. Kambing yang sudah berumur setahun, yang sehat, yang tidak cacat, dengan harapan agar sang anak sehat dan tidak cacat, dan diniatkan dipotong untuk kurban sang bayi. Daging kambing disunnahkan untuk dimasak dengan dicampur bumbu yang manis, dengan harapan sang anak tumbuh dengan akhlaq yang elok. Lalu dihidangkan kepada para undangan. Hanya bagian kakinya, disunnahkan untuk diberikan pada sang bidan yang ikut melahirkan sang anak.
Rambut sang bayi dipotong gundul dan disunnahkan untuk memberikan sedekah seberat timbangan rambut tadi dengan emas atau perak. Sang bayi juga diberi makanan yang manis, kurma yang dihaluskan, dengan harapan akan menjadi anak yang manis dan generasi penerus yang melaksanakan kebajikan.
5. Sang bayi juga diberi nama yang baik. Dalam sebuah hadits disebutkan:
"Min haq-qil waladi 'alal wâlid, ay-yuhsina adabahu wa yuhsinasmah"
"Merupakan sebagian dari hak seorang anak atas orangtuanya adalah mendidiknya dengan baik dan memberikan nama yang baik."
Perlu kami garis bawahi di sini tentang pemberian nama. Nama yang terbaik bagi seorang bayi laki-laki adalah Abdullah dan Abdurrahman. Setelah itu nama para rasul, nabi, malaikat, orang-orang yang salih dan yang memiliki arti yang baik. Semua itu dengan harapan bahwa sang bayi nantinya akan tumbuh dengan menjadikan namanya sebagai referensi. Kalau namanya Abdullah, maka ketika ia hendak berbuat tak baik, dan tak sengaja dipanggil, ia akan teringat peraturan-peraturan Allah, dan tak jadi berbuat aniaya. Dan begitulah seterusnya.
Pada masa ini, banyak orangtua yang melupakan kewajiban ini, yang merupakan hak dari sang anak. Diambilnya nama dengan tidak memakai referensi "shalih". Bahkan sebagian memberi nama anaknya mengikuti kemarahan hatinya. Maka tidaklah juga dapat disalahkan sang anak ketika besar bukan referensi "shalih" yang digunakan. Karena sang anak tidak mendapatkan haknya, maka lupalah ia akan kewajibannya. Pada akhirnya orangtualah yang kewalahan.
Wallahu A’lam
Affair Terlalu Jauh
Tanya:
saya TKW kerja di kuwait, di rumah saya ditunangkan dengan seorang yang tidak saya cintai. Akhirnya kuserahkan kesucianku sebelum menikah. Agar dia tak mengharap lagi. Sekarang saya bekerja di kuwait dan tertarik (jatuh cinta dengan sopir majikan saya). Namun dia telah beristri, lebih jelasnya dia berkebangsaan India. Dia katanya setia dengan saya bahkan rela untuk mati daripada berpisah. Selama ini hubungan saya dengan sopir sudah di luar batas. Menurut anda apa yang mesti saya perbuat?
Sekian terima kasih
W di kuwait
xxxxx90@i...
Jawab:
Saudara W. yang semoga dikasihani Allah, perbuatan Anda, yang pertama, menyerahkan seluruh kehormatan Anda kepada yang bukan haknya adalah perbuatan terkutuk (zina). Allah berfirman: "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk" (QS. Al-Isro 32). Allah melarang mendekati zina. Yang perlu digarisbawahi adalah mendekati saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan. Ayat ini betapa menandaskan bahwa zina itu betul-betul perbuatan terkutuk.
Sekarang Anda telah menjalin hubungan lagi dengan seorang pria India. Bahkan sudah melampaui batas, sesuai cerita Anda. Kalau melihat cerita Anda seperti itu, nampaknya hubungan Anda berdua itu hanya berlandaskan emosi cinta yang berlalu begitu saja, tanpa Anda pernah memikirkan resiko jauh ke depan. Menurut saya, karena itu sudah terlanjur, mula-mula cobalah memikirkan masak-masak, merenungkan apa yang telah Anda perbuat, termasuk Anda harus mendiskusikan masa depan Anda berdua. Cobalah berfikir matang-matang dulu sebelum melangkah: Bagaimana nanti nasib anak istri pria India itu? Apakah benar-benar ia akan setia mendampingi Anda, sementara dia sendiri harus menafkahi anak istrinya, padahal dia hanya bekerja sebagai sopir?
Saya khawatir Anda hanya tertipu dengan kesenangan-kesenangan sesaat, tertipu oleh asyik-masyuknya cinta. Dengan berfikir keras seperti itu, Anda bisa memperoleh keputusan yang mantap: kalau memang ternyata kekasih Anda itu benar-benar akan setia menjadi suami, dia juga tidak akan menyengsarakan anak-istrinya yang ditinggalkannya di India, artinya nanti dia bisa berbuat adil, ya tidak apa-apa, menurut saya, lebih baik segera saja langsungkan pernikahan itu. (Khawatir) dari pada Anda jatuh pada perbuatan terkutuk lagi, zina.
Pesan saya, senantiasalah memohon ampunan, beristighfar, dan berusahalah menyesali sedalam-dalamnya perbuatan-perbuatan terkutuk yang pernah Anda lakukan itu. Karena, saya yakin, selamanya Anda tidak akan memperoleh ketenangan rohani sebelum Anda benar-benar bertaubat untuk berjanji sepenuh hati tidak mengulangi perbuatan kotor itu. Juga rajin-rajinlah melakukan salat-salat sunat, terutama salat tahajjud di tengah malam. Berdoalah seraya memohon ampunan. Dengan penyesalan Anda dari lubuk hati yang paling dalam itu, semoga Allah swt akan meringankan dan bahkan benar-benar menghapus dosa-dosa Anda. Cobalah! Saya yakin Anda bisa melakukan itu.
Wassalam
saya TKW kerja di kuwait, di rumah saya ditunangkan dengan seorang yang tidak saya cintai. Akhirnya kuserahkan kesucianku sebelum menikah. Agar dia tak mengharap lagi. Sekarang saya bekerja di kuwait dan tertarik (jatuh cinta dengan sopir majikan saya). Namun dia telah beristri, lebih jelasnya dia berkebangsaan India. Dia katanya setia dengan saya bahkan rela untuk mati daripada berpisah. Selama ini hubungan saya dengan sopir sudah di luar batas. Menurut anda apa yang mesti saya perbuat?
Sekian terima kasih
W di kuwait
xxxxx90@i...
Jawab:
Saudara W. yang semoga dikasihani Allah, perbuatan Anda, yang pertama, menyerahkan seluruh kehormatan Anda kepada yang bukan haknya adalah perbuatan terkutuk (zina). Allah berfirman: "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk" (QS. Al-Isro 32). Allah melarang mendekati zina. Yang perlu digarisbawahi adalah mendekati saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan. Ayat ini betapa menandaskan bahwa zina itu betul-betul perbuatan terkutuk.
Sekarang Anda telah menjalin hubungan lagi dengan seorang pria India. Bahkan sudah melampaui batas, sesuai cerita Anda. Kalau melihat cerita Anda seperti itu, nampaknya hubungan Anda berdua itu hanya berlandaskan emosi cinta yang berlalu begitu saja, tanpa Anda pernah memikirkan resiko jauh ke depan. Menurut saya, karena itu sudah terlanjur, mula-mula cobalah memikirkan masak-masak, merenungkan apa yang telah Anda perbuat, termasuk Anda harus mendiskusikan masa depan Anda berdua. Cobalah berfikir matang-matang dulu sebelum melangkah: Bagaimana nanti nasib anak istri pria India itu? Apakah benar-benar ia akan setia mendampingi Anda, sementara dia sendiri harus menafkahi anak istrinya, padahal dia hanya bekerja sebagai sopir?
Saya khawatir Anda hanya tertipu dengan kesenangan-kesenangan sesaat, tertipu oleh asyik-masyuknya cinta. Dengan berfikir keras seperti itu, Anda bisa memperoleh keputusan yang mantap: kalau memang ternyata kekasih Anda itu benar-benar akan setia menjadi suami, dia juga tidak akan menyengsarakan anak-istrinya yang ditinggalkannya di India, artinya nanti dia bisa berbuat adil, ya tidak apa-apa, menurut saya, lebih baik segera saja langsungkan pernikahan itu. (Khawatir) dari pada Anda jatuh pada perbuatan terkutuk lagi, zina.
Pesan saya, senantiasalah memohon ampunan, beristighfar, dan berusahalah menyesali sedalam-dalamnya perbuatan-perbuatan terkutuk yang pernah Anda lakukan itu. Karena, saya yakin, selamanya Anda tidak akan memperoleh ketenangan rohani sebelum Anda benar-benar bertaubat untuk berjanji sepenuh hati tidak mengulangi perbuatan kotor itu. Juga rajin-rajinlah melakukan salat-salat sunat, terutama salat tahajjud di tengah malam. Berdoalah seraya memohon ampunan. Dengan penyesalan Anda dari lubuk hati yang paling dalam itu, semoga Allah swt akan meringankan dan bahkan benar-benar menghapus dosa-dosa Anda. Cobalah! Saya yakin Anda bisa melakukan itu.
Wassalam
Adzan dan Iqamah oleh Wanita
Tanya:
Bagaimana hukumnya bila seorang "WANITA melakukan ADZAN/IQOMAH" dalam persiapan sholat berjamaah, dalam kondisi:
a.Satu imam laki-laki dan satu makmum perempuan.
b.Imam bencong & makmumnya perempuan.
c.Imam & makmumnya semua perempuan.
Terimakasih.
A.Yaqin
Via E-mail
Jawab:
Adzan dan Iqamah pada dasarnya dimaksudkan untuk menyiar-nyiarkan datangnya waktu salat dan saat didirikannya salat. Seperti yang terkandung dalam surat Al-Maidah ayat 58:" Dan apabila kamu menyeru(mereka) untuk(mengerjakan)sholat,mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-nemar kaum yamg tidak mau mempergunakan akal".
Karena tujuannya untuk menyiar-nyiarkan seperti itulah, yaitu menyangkut volume suara, maka disyari'atkan agar yang melakukan adzan dan iqamah itu orang laki-laki. Jika yang melakukan adzan dan iqamah orang perempuan, di samping suaranya lebih lemah (dari orang laki-laki) biasanya juga bisa mengundang syhawat (walaupun hanya sedikit saja).
Sehingga para ulama dahulu pun pada beda pendapat mengenai boleh tidaknya orang perempuan melakukan adzan dan iqamah: (1) ada yang mengharamkan (Malikiyah dan Hanafiyah), (2) ada yang sekedar memakruhkan khusus untuk adzan dan sunnah untuk iqamah (Syafi'iyah).
Berdasar prinsip-prinsip di atas, maka jika (1) dalam suatu jama'ah itu terdapat orang laki-laki, maka seyogyanya yang laki-laki itu yang melakukan adzan dan iqamah. Tak beda, baik jama'ah sedikit atau banyak; (2) demikian juga jika dalam suatu jama'ah terdapat seorang bencong dan lainnya perempuan, maka dialah yang harus melakukan adzan dan iqamah; (3) dan jika semua anggota jama'ah itu perempuan, maka salah satu perempuan antara mereka yang melakukan adzan dan iqamah. Kasus ketiga ini bisa didasarkan pada kasusnya Sayidah 'Aisyah ra. bahwa suatu saat beliau melakukan adzan, iqamah, dan sekaligus mengimami jama'ah yang semuanya terdiri dari orang perempuan (HR. Baihaqi).
Wallahu A’lam
Setan itu berupa wujud atau sifat
Tanya:
Sebetulnya setan itu berupa wujud atau sifat? Sebab, setan dikatakan bisa berwujud jin atau manusia. Wujud di sini berupa wujud lahiriah atau sifatnya saja?
Jawab:
Al-Qurthubi dalam kitab Ahkam al-Qur'an menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai asal-usul Jin. Hasan al-Basri mengatakan bahwa Jin adalah keturunan Iblis, seperti manusia adalah keturunan Adam. Dari dua kelompok ini (jin dan manusia) ada yang beriman dan ada yang kafir. Keduanya juga berhak mendapatkan pahala dan siksaan dari Allah. Mereka yang beriman dari keduanya adalah kekasih Allah dan yang kafir adalah setan.
Ibnu Abbas berpendapat bahwa jin adalah keeturunan Jann. Mereka bukan setan. Mereka bisa mati. Di antara mereka ada yang beriman dan ada yang kafir. Sementara itu, setan adalah anak Iblis. Mereka tidak akan mati kecuali bersama-sama Iblis.
Dalam tafsir surat al-Nas, Qatadah berkata, "Sesungguhnya dari jin dan manusia terdapat setan-setan". Ini mirip dengan pendapat Hasan al-Basri di atas. Dalam surah al-An'am ayat 112 disebutkan, "Dan demikianlah Aku jadikan untuk setiap nabi musuh dari setan-setan manusia dan jin."
Dalam buku "Hayat al-Hayawan al-Kubra" karangan Dumairi disebutkan bahwa semua jin adalah keturunan Iblis. Namun dikatakan juga bahwa jin merupakan satu rumpun, sedangkan Iblis adalah salah satu dari mereka. Jin juga mempunyai keturunan seperti dijelaskan dalam al-Qur'an surah al-Kahfi ayat 55, "Apakah kalian akau menjadikan mereka (jin) dan keturunannya sebagai kekasih selain Aku (Allah) padahal mereka adalah musuh kalian?". Kaum jin yang kafir disebut setan.
Dalam kitab "Akaamu-l-Marjan fi Ahkamil Jan" karangan Syibli (hal. 6) disebutkan bahwa jin mencakup malaikat dan mahluk lainnya yang kasat mata. Sedangkan setan adalah jin yang durhaka dan kafir, mereka adalah anak-anak Iblis.
Jauhari berkata bahwa semua yang durhaka dan membangkang dari manusia, jin dan hewan disebut setan. Orang Arab menyebut ular sebagai setan.
Yang terpenting bagi umat manusia adalah meyakini bahwa setan adalah musuh mereka dan selalu berusaha untuk menyesatkannya dan menjauhkannya dari jalan Allah. Kita dilarang menyembah atau menuruti kata setan. Dalam surah Yasin ayat 60 disebutkan, "Bukankah Aku (Allah) telah membuat perjanjian kepadamu hai Bani Adam agar kalian tidak menyembah setan? Mereka adalah musuh yang paling jelas". Demikian juga dalam surah Fathir ayat 6, "Sesungguhnya setan adalah musuh kalian maka jadikanlah mereka musuh". Dan banyak dalil-dalil yang mengingatkan kita agar hati-hati terhadap tipu daya dan rayuan setan ini
Sebetulnya setan itu berupa wujud atau sifat? Sebab, setan dikatakan bisa berwujud jin atau manusia. Wujud di sini berupa wujud lahiriah atau sifatnya saja?
Jawab:
Al-Qurthubi dalam kitab Ahkam al-Qur'an menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai asal-usul Jin. Hasan al-Basri mengatakan bahwa Jin adalah keturunan Iblis, seperti manusia adalah keturunan Adam. Dari dua kelompok ini (jin dan manusia) ada yang beriman dan ada yang kafir. Keduanya juga berhak mendapatkan pahala dan siksaan dari Allah. Mereka yang beriman dari keduanya adalah kekasih Allah dan yang kafir adalah setan.
Ibnu Abbas berpendapat bahwa jin adalah keeturunan Jann. Mereka bukan setan. Mereka bisa mati. Di antara mereka ada yang beriman dan ada yang kafir. Sementara itu, setan adalah anak Iblis. Mereka tidak akan mati kecuali bersama-sama Iblis.
Dalam tafsir surat al-Nas, Qatadah berkata, "Sesungguhnya dari jin dan manusia terdapat setan-setan". Ini mirip dengan pendapat Hasan al-Basri di atas. Dalam surah al-An'am ayat 112 disebutkan, "Dan demikianlah Aku jadikan untuk setiap nabi musuh dari setan-setan manusia dan jin."
Dalam buku "Hayat al-Hayawan al-Kubra" karangan Dumairi disebutkan bahwa semua jin adalah keturunan Iblis. Namun dikatakan juga bahwa jin merupakan satu rumpun, sedangkan Iblis adalah salah satu dari mereka. Jin juga mempunyai keturunan seperti dijelaskan dalam al-Qur'an surah al-Kahfi ayat 55, "Apakah kalian akau menjadikan mereka (jin) dan keturunannya sebagai kekasih selain Aku (Allah) padahal mereka adalah musuh kalian?". Kaum jin yang kafir disebut setan.
Dalam kitab "Akaamu-l-Marjan fi Ahkamil Jan" karangan Syibli (hal. 6) disebutkan bahwa jin mencakup malaikat dan mahluk lainnya yang kasat mata. Sedangkan setan adalah jin yang durhaka dan kafir, mereka adalah anak-anak Iblis.
Jauhari berkata bahwa semua yang durhaka dan membangkang dari manusia, jin dan hewan disebut setan. Orang Arab menyebut ular sebagai setan.
Yang terpenting bagi umat manusia adalah meyakini bahwa setan adalah musuh mereka dan selalu berusaha untuk menyesatkannya dan menjauhkannya dari jalan Allah. Kita dilarang menyembah atau menuruti kata setan. Dalam surah Yasin ayat 60 disebutkan, "Bukankah Aku (Allah) telah membuat perjanjian kepadamu hai Bani Adam agar kalian tidak menyembah setan? Mereka adalah musuh yang paling jelas". Demikian juga dalam surah Fathir ayat 6, "Sesungguhnya setan adalah musuh kalian maka jadikanlah mereka musuh". Dan banyak dalil-dalil yang mengingatkan kita agar hati-hati terhadap tipu daya dan rayuan setan ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar