Mengeluarkan MAdzi
Pertanyaan :
Pada bulan ramadhan yang lalu saya jalan-jalan dengan pacar, sambil menunggu waktu berbuka puasa kami jalan-jalan dan saling bergandengan tangan, saya merasakan keluar sedikit cairan dari alat kemaluan saya, apakah itu termasuk mazi atau mani ? apakah puasa saya batal ?
Pada bulan ramadhan yang lalu saya jalan-jalan dengan pacar, sambil menunggu waktu berbuka puasa kami jalan-jalan dan saling bergandengan tangan, saya merasakan keluar sedikit cairan dari alat kemaluan saya, apakah itu termasuk mazi atau mani ? apakah puasa saya batal ?
Jawaban :
Pertama-tama anda harus bedakan dengan pasti apakah yang keluar itu mani atau madzi. Untuk membedakannya mudah saja, bahwa cairan bening tidak kental dan lengket yang keluar ketika sedang bercumbu dengan istri/suami atau ketika membayangkan hal tersebut dalam khazanah Fiqh Islam disebut Madzi. Cairan ini adalah Najis karena Rasulullah SAW memerintahkan agar mencuci kemaluan dari cairan tersebut dan berwudhu. Dari Ali bin Abi Thalib RA, ia berkata: “Aku adalah orang yang banyak mengeluarkan madzi akan tetapi aku malu untuk bertanya kepada Rasulullah SAW berkaitan hal tersebut karena alasana putri beliau (Fatimah). Maka aku memerintahkan Miqdad bin Al-Aswad untuk menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah SAW, beliau pun bersabda: “Hendaklah ia membersihkan kemaluannya dan berwudhu” (HR. Bukhori dan Muslim)/
Imam
As-Syairoji meyebutkan karena cairan tersebut (madzi) keluar dari
tempat keluarnya hadats maka hukmnya seperti air kencing. (Fatawa
Al-Hindiyah 1/46) Jumhurul ulama menyatakan jika cairan madzi tersebut
keluar ketika seseorang sedang melaksanakan ibadah shaum maka ibadah
shaumnya tidak bathal, karena tidak ada nash yang menyatakan hal
tersebut dan juga tidak ada Ijma (konsensus ulama). Dan juga tidak
mungkin diqiaskan (dianalogikan) kepada jima. (Al-Mughny Ibnu Qudamah
3/49) Puasa anda tidak batal namun jangan bicara nilai dan pahala,
karena apa yang anda lakukan itu sangat bertentangan sekali dengan
hikmah yang tujuan puasa yang intinya mengendalikan hawa nafsu. Hawa
nafsu yang halal saja harus dikekang apalagi hawa nafsu yang haram,
tentu lebih tidak boleh lagi untuk dikerjakan.
Wanita hamil dan menyusui
Tanya:
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Saya ingin menanyakan tentang aturan puasa bagi wanita yang sedang hamil dan menyusui. Apakah wanita hamil boleh (baca: cukup) membayar fidyah saja (untuk mengganti puasanya) atau harus meng-qodlo puasanya di lain waktu. Sementara pada tahun berikutnya dia harus menyusui anaknya yang baru lahir. Jadi, ia belum sempat membayar hutang puasanya karena harus menyusui anaknya. Apakah ia diperbolehkan mengganti puasanya hanya dengan membayar fidyah atau harus tetap meng-qodlo puasanya?
Demikian pertanyaan saya, terima kasih atas jawaban yang diberikan.
Jawab:
Wa Alaikum Salam Wr. Wb.,
Wanita yang sedang hamil dan/atau menyusui diperbolehkan tidak berpuasa jika dikhawatirkan akan mengakibatkan terganggunya kesehatan, baik itu akan berpengaruh pada anak yang dikandung maupun pada wanita yang sedang mengandung. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dengan hasil konsultasi dari pakar medis yang menangani kehamilan tersebut. Jika memang --menurut perspektif medis-- berpuasa tidak berbahaya bagi kesehatan wanita tersebut, maka sebaiknya tetap berpuasa. Akan tetapi jika puasa dikhawatirkan membawa dampak yang membahayakan kehamilan maupun ibu yang mengandung, maka diperbolehkan tidak berpuasa.
Mengenai fidyah dan qodlo puasa, berikut pendapat beberapa ulama terkait wanita hamil atau menyusui:
Wallahu A'lam.
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Saya ingin menanyakan tentang aturan puasa bagi wanita yang sedang hamil dan menyusui. Apakah wanita hamil boleh (baca: cukup) membayar fidyah saja (untuk mengganti puasanya) atau harus meng-qodlo puasanya di lain waktu. Sementara pada tahun berikutnya dia harus menyusui anaknya yang baru lahir. Jadi, ia belum sempat membayar hutang puasanya karena harus menyusui anaknya. Apakah ia diperbolehkan mengganti puasanya hanya dengan membayar fidyah atau harus tetap meng-qodlo puasanya?
Demikian pertanyaan saya, terima kasih atas jawaban yang diberikan.
Jawab:
Wa Alaikum Salam Wr. Wb.,
Wanita yang sedang hamil dan/atau menyusui diperbolehkan tidak berpuasa jika dikhawatirkan akan mengakibatkan terganggunya kesehatan, baik itu akan berpengaruh pada anak yang dikandung maupun pada wanita yang sedang mengandung. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dengan hasil konsultasi dari pakar medis yang menangani kehamilan tersebut. Jika memang --menurut perspektif medis-- berpuasa tidak berbahaya bagi kesehatan wanita tersebut, maka sebaiknya tetap berpuasa. Akan tetapi jika puasa dikhawatirkan membawa dampak yang membahayakan kehamilan maupun ibu yang mengandung, maka diperbolehkan tidak berpuasa.
Mengenai fidyah dan qodlo puasa, berikut pendapat beberapa ulama terkait wanita hamil atau menyusui:
- Jika ia khawatir puasa dapat membahayakan kesehatannya atau kesehatan anaknya, maka boleh tidak berpuasa dan wajib meng-qadla di luar Ramadlan tanpa membayar fidyah.
- Jika ia khawatir puasa dapat membahayakan kesehatan anaknya saja dan tidak membahayakan dengan kesehatannya sendiri, maka boleh tidak berpuasa dan wajib meng-qadla. Selain itu, sebaiknya juga membayar fidyah. Ini adalah pendapat Imam Syafi'i. Sementara Imam Hanafi berpendapat harus qadla dan tidak diperbolehkan membayar fidyah saja.
- Dalil yang memperbolehkan tidak puasa bagi wanita hamil atau menyusui diqiyaskan dengan orang yang sedang sakit dan musafir (orang yang dalam perjalanan). Juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang menyatakan bahwasanya Allah memperbolehkan kepada musafir untuk tidak berpuasa, qashar dan jamak sholat. Begitu juga bagi orang yang sedang hamil dan menyusui, diperbolehkan tidak berpuasa (H.R. Ahmad dan Ashab al-Sunan dari Anas bin Malik). Justru sebaiknya wanita hamil atau menyusui tidak berpuasa apabila puasa tersebut mengakibatkan terganggunya kesehatan ibu yang sedang hamil dan janin yang dikandungnya.
- Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Said bin Jubair (Sahabat) menyatakan diperbolehkannya membayar fidyah saja tanpa harus meng-qadla. Karena qadla itu sendiri dibatasi sampai sebelum datangnya Ramadlan berikutnya. Jika sampai tahun berikutnya tetap tidak bisa meng-qadla puasa karena menyusui, maka boleh (baca: cukup) membayar fidyah saja. Adapun ketentuan fidyah dapat anda lihat dalam arsip jawaban kami dengan mengunjungi http://www.pesantrenvirtual.com/tanya/063.shtml
Wallahu A'lam.
Barang temuan
Assalamu’alaikum WrWb.
Ustadzah
saya baru-baru ini menemukan sebuah barang di tempat kerja saya yang
saya tidak mengetahui pemiliknya, barang itu kemudian saya bawa pulang.
Bagaimana hukumnya saya membawa pulang barang tersebut??terima kasih
Wassalamu’alaikum Wr Wb (Rida-Jember)
Wassalamu’alaikum Wr Wb (Rida-Jember)
Jawab
“Al-luqathah”
menurut bahasa artinya barang temuan, sedangkan menurut istilah syara’
ialah barang yang ditemukan di suatu tempat dan tidak diketahui siapa
pemiliknya.
Rasulullah SAW bersabda:Dari Zaid bin Khalid, sesungguhnya Nabi SAW ditanya orang tentang keadaan emas atau mata uang yang didapat. Beliau bersabda : “Hendaklah engkau ketahui tempatnya, kemudian umumkanlah (kepada masyarakat) selama satu tahun. Jika datang pemiliknya maka berikanlah kepadanya, dan jika tidak ada yang mengambilnya setelah satu tahun maka terserah kepadamu.”(HR.Al-BukharidanMuslim).
Rasulullah SAW bersabda:Dari Zaid bin Khalid, sesungguhnya Nabi SAW ditanya orang tentang keadaan emas atau mata uang yang didapat. Beliau bersabda : “Hendaklah engkau ketahui tempatnya, kemudian umumkanlah (kepada masyarakat) selama satu tahun. Jika datang pemiliknya maka berikanlah kepadanya, dan jika tidak ada yang mengambilnya setelah satu tahun maka terserah kepadamu.”(HR.Al-BukharidanMuslim).
Hukum luqathah
a. Wajib (mengambil barang itu), apabila menurut keyakinan yang menemukan barang itu, jika tidak diambil akan sia-sia.
b. Sunnah, apabila yang menemukan barang itu sanggup memeliharanya, dan sanggup mengumumkan kepada masyarakat selama satu tahun.
c. Makruh
apabila yang menemukan barang itu tidak percaya pada dirinya untuk
melaksanakan amanah barang temuan itu dan khawatir ia akan khianat
terhadap barang itu.
Kewajiban Bagi Orang yang Menemukan Barang
1. Wajib menyimpannya dan memelihara barang temuan itu dengan baik
2. Wajib
memberitahukan dan mengumumkan kepada khalayak ramai tentang penemuan
barang tersebut dalam satu tahun.Rasulullah SAW bersabda :“Siapa yang
menyimpan barang yang hilang maka ia termasuk sesat kecuali apabila ia
memberitakan kepada umum dengan permberitahuan yang luas”. (HR. Muslim).
3. Wajib menyerahkan barang temuan tersebut kepada pemiliknya apabila diminta dan dapat menunjukkan bukti-bukti yang tepat.
4. Jika
benda yang ditemukan itu termasuk benda yang harganya murah, maka
pengumuman itu cukup tiga harri dengan perkiraan yang punya benda itu
sudah tidak memerlukannya lagi. Setelah itu yang menemukan benda itu
boleh memanfaatkannya, dan jika yang punya benda itu datang mengambilnya
setelah benda itu dimanfaatkan, maka yang memanfaatkannya harus
bersedia untuk menggantinya.
5. Jika
yang ditemukan itu memerlukan biaya perwatan, seperti binatang ternak,
maka biaya perawatan itu dibebankan kepada pemiliknya. Jika sudah
beberapa bulan belum juga datang, maka hewan itu boleh dijual atau
dipotong untuk dimakan dan jika pemiliknya datang, maka hasil penjualan
hewann itu diserahkan kepada pemiliknya atau hewan yang dipotong itu
diganti harganya.
Air Wudlu
Air
yang bagaimanakah yang sah digunakan untuk berwudhu? karena setahu saya
hanya air yang telah mencapai dua kullah dan air yang mengalir yang sah
dipakai untuk berwudhu. (ies.Mha Jember)
Jawab:
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Mengenai
masalah air yang telah digunakan untuk berwudhu‘, ada dua pendapat yang
berbeda dan masing masing memiliki dasar, dalil dan hujjah yang kuat.
Pertama,
Imam Syafi‘i dalam qaul jadidnya berpendapat bahwa air musta‘mal (yang
telah digunakan untuk berwudlu‘) itu suci dan tetapi tidak mensucikan.
Jadi tidak boleh digunakan lagi untuk berwudhu‘. Kecuali bila jumlah air
itu mencapai minimal 2 qullah atau air yang mengalir (seperti sungai
atau kran).
Bila
jumlahnya kurang dari dua qullah, boleh digunakan untuk wudhu bila
tidak kemasukan air sisa wudhu‘, misalnya digunakan dengan cara
dituangkan (dialirkan) dan tidak dengan mencelupkan tangan.
Dalil
yang digunakan adalah hadits dari Abdullah bin Zaid Ra. Bahwa beliau
melihat Rausullah SAW berwudhu, lalu disebutkan sifat wudhu‘nya hingga
.. beliau mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa air wudhu‘ dari
tangannya, kemudian mencuci kakinya. (HR Muslim dan Abu Daud)
Hadits
tersebut menyebutkan bahwa Rasulullah menggunakan air baru untuk
mengusap kepalanya dan tidak menggunakan sisa air yang masih ada
ditangannya. Pendapat ini yang kebanyakan diikuti oleh ulama dan umat
Islam di Indonesia yang bermazhab kepada Imam as-Syaf‘i radiyallahu
‘anhu.
Kedua,
Imam Malik dan para ulama lainnya berbeda pendapat dengan Imam Syaf‘i
dalam masalah air musta‘mal. Bahkan Imam syafi‘i sendiri dalam qaul
qadimnya juga berpegang pada pendapat ini.
Mereka
tidak membedakan antara air yang sudah digunakan untuk wudhu‘ dengan
yang belum digunakan. Menurut mereka keduanya sama-sama suci dan
mensucikan meski tidak mencapai dua qullah atau bukan air mengalir.
Dalil yang mereka gunakan adalah :
Ayat
Al-Quran yang artinya : Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa
kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya (hujan); dan Kami
turunkan dari langit air yang mensucikan. (QS Al-Furqan : 48)
Air
yang mensucikan dalam ayat itu menggunakan wazan fa‘ul yaitu tahuur.
Ini mengandung makna berkali-kali, bukan hanya sekali (mensucikannya).
Jadi meski sudah digunakan untuk wudhu‘, tetapi tetap boleh digunakan
lagi untuk wudhu‘.
Hadits Nabi Diriwayatkan dari Ar-Rubai‘ binti Mu‘awwad :”..lalu beliau membasuh kepalanya dengan air sisa wudhu‘ yang ada di tangannya”. (HR Ahmad) dan hadits senada diriwayatkan oleh Abu Daud.
Hadits Nabi Diriwayatkan dari Ar-Rubai‘ binti Mu‘awwad :”..lalu beliau membasuh kepalanya dengan air sisa wudhu‘ yang ada di tangannya”. (HR Ahmad) dan hadits senada diriwayatkan oleh Abu Daud.
Atsar
Shahabat Ibnu al-Munzir berkata bahwa diriwayatkan dari Ali, Ibnu Umar,
Abu Umamah, ‘Atho‘, al-Hasan, Makhul dan An-Nakha‘i bahwa mereka
berkata tentang orang yang lupa membasuh kepalanya tapi mendapatkan
basah air di jenggotnya : Cukuplah bagi mereka mengusap kepala dengan
sisa air di jenggot itu. Ini menunjukkan bahwa mereka berpendapat bahwa
air musta‘mal itu mensucikan.
Jadi
Ibu, dari dua pendapat ini kita bisa ambil salah satu saja pendapat
tersebut yang terkuat untuk bisa kita amalkan dalam wudlu kita.
Wallahu a‘lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar